Jumat, 14 November 2008

Militerisasi Melankolis

Ayahku mati hari ini. Pertama kali aku mendengar berita ini, sudah pasti tidak usah ku ceritakan bagaimana perasaanku, aku yakin kalian sudah tahu. Lalu apa yang kalian dapat lakukan? Selain hanya empati dan kata peghibur. Tapi itu jauh lebih baik daripada hanya menatapku diam, seolah aku pegemis yang butuh belas kasihan.
Tujuh hari setelah ayahku pergi aku harus kembali. Kembali ke dunia nyata setelah sekian lama terpuruk dalam perasaan kelam menghujam hati yang karam dan raut muka muram. Menimbang kembali kehidupan dalam rangkaian pertimbangan kemampuan, pendidikan dan tentu saja masa depan. Kesadaran bahwa sudah tidak ada lagi sandaran memaksa kami mengkarbit diri. Mau tak mau harus mau. Sebuah militerisasi yang melankolis.

Lebaran ini adik cantikku tidak mendapat baju baru. Dia mendapat sepeda baru, sepeda itu kelak menghantarkannya kepada komplek perumahan mewah seluas 10.000 m2, dengan jalannya yang berliku dengan panjang lintasan 6 km. Dia mulai belajar bangun lebih pagi, tepatnya dua jam dari biasanya. 15 menit mengumpulkann nyawa, 30 menit mengambil Koran, kasih setoran, menghitung dan menumpuk Koran lalu berangkat ke komplek. 1 jam memutari komplek dengan 58 rumah, setiap pemberhentian membutuhkan waktu 30 detik berarti dia harus bersepeda dengan kecepatan 12 km/jam dan masih mempunyai tenggat waktu 1 menit buat hal-hal yang tak terduga. Sesekali dia mengeluh, kadang juga mengaduh karena kakinya terasa lumpuh, kaki kecil yang sudah 8 tahun menompang tubuhnya selalu ku gerayangi tiap malam, dengan sedikit tekanan lalu dia menggeliat sakit keenakan. Lalu dia tersenyum saat aku perbolehkan jajan dengan duit sabtu minggunya. Kenapa harus aku melarang? Toh dia bisa membayar duit sekolahnya dengan hasil keringat senin-jumatnya. Masa kecilnya telah terenggut saat dia berdiri menantang hidup. Hanya saat diantara aku dan ibuku saja dia menjadi kecil.

Lalu ibuku, dia berubah menjadi monster. Sekujur tubuhnya penuh lendir. Tangan dan kakinya mulai menggelembung, ada semacam tali-temali yang mengurat mengikat erat tangan dan kakinya yang semakin berat supaya tak lepas dari tubuhnya. Rambutnya bersinar terang benderang di kegelapan hampir seperti nabi yang mendapat wahyu dari Yang Kuasa. Dia mempunyai senjata keramat yang diberi nama “keranjang sabit”. Seperti layaknya benda keramat, pasti ada ritual khusus dalam merawatnya. Ritual yang sering dilakukan ibuku adalah mengeluarkannya setiap pagi dan sore hari, lalu membawanya kesebuah padang hijau kemudian berlatih ilmu pencak silat, saking hebatnya padang hijau itu sampai rata dengan tanah di beberapa tempat, hal terakhir yang dilakukannya adalah bergumul dengan kendaraan Dewa Siwa. Betapa manjanya “keranjang sabit” meminta ritual itu setiap hari. Vaginanya kadang menjadi penis kadang jadi vagina lagi lalu menjadi penis lagi, pokoknya sudah tak pasti bentuknya. Yang pasti adalah kelaminnya sudah tidak mempunyai lubang senggama. Seandainya duda-duda itu tahu pasti hengkang lari tunggang langgang. Tapi anehnya bentuk ibuku yang mengerikan itu malah menjadi daya tarik tersendiri. Entahlah selera orang-orang tua memang buruk.

Apa yang aku lakukan memang sebuah keharusan, saat aku harus belajar bekerja keras demi menghidupi aku dan khayalanku. Aku menjadi dewasa, bertanggung jawab, mandiri, dan penuh pertimbangan. Tapi aku sangat bersyukur atas semua itu. Dan hanya ada satu doa yang rajin kupanjatkan setiap beribadah, begini bunyi igauan doaku “Tuhan bunuhlah seluruh orang tua yang ada dimuka bumi ini, kalau tidak lumpuhkan saja kaki dan tangan mereka, butakan matanya, bisukan mulutnya, tulikan kupingnya. Amin.”

Harnono Taufik (mengapa harus menunggu dewasa hanya untuk menjadi dewasa) Yogya 9 November 2008 ; 15.53 PM.

Senin, 20 Oktober 2008

“Aku Raja Sastra” “YIN”

Berapa banyak kata yang kamu ucapkan dalam satu hari? Aku yakin lebih dari satu juta. Benarkah? Ya.. itu benar, kalau yang dimaksut adalah kata yang diucapkan bukan cuma lewat mulut saja. Setiap milimeter gerak tubuhmu pun ikut dihitung juga, karena dia juga mewakili kata yang ingin kau sampaikan kepada orang lain. Contoh mudah, ketika kau melangkahkan kakimu setapak demi setapak, kamu tidak perlu berkoar-koar kepada orang disekitarmu “aku sedang berjalan” Karena mereka sudah tahu itu. Ya.. itu lah kata.

Sebenarnya kamu tidur pun sudah membuat tiga kata “aku sedang tidur” itu lah penangkapan orang lain. Lalu, bagaimana mungkin kamu bisa memfatwa seseorang dengan kata “sombong” hanya karena dia tidak menjawab sapaanmu dengan suara dari mulutnya atau lambaian tangannya? Sadarkah kau, dalam diamnya dia berusaha untuk berkata “aku tidak mendengarmu” “aku sedang marah sama kamu” “aku sedang malas ngomong” “aku tidak suka denganmu”. Betapa tumpulnya kepekaanmu kawan, hingga dengan mudah mengeluarkan fatwa “S-O-M-B-UUU-O-NN-G” lihat, ejaanmu saja belum benar. Aku berani taruhan nyawa denganmu kalau kau pasti lebih sering merangkai kata-kata dihati dari pada bersuara. Ternyata kau layak disebut Pengecut. Ternyata kamu adalah orang yang paling “cerewet”. Karena bagiku setiap kata yang kau gumamkan dalam batin juga ikut dihitung. Sekarang percayalah padaku jutaan kata telah kau ucapkan setiap harinya, anehnya kau tidak akan lelah untuk berucap dan berucap lagi.

Aku tidak pernah setuju dengan teori dimana komunikasi itu secara garis besar hanya terdapat dua jenis, yaitu komunikasi verbal (lebih tepatnya harus bersuara) dan non verbal (yang ini bisa membuat kita sehat karena harus berolah raga untuk melakukannya). Lebih setuju aku kalau komunikasi itu dibelah menjadi 3 sama besar. Belahan pertama adalah komunikasi verbal (dapat didengar, tidak dapat dilihat, dan dapat dirasa), komunikasi non verbal (tidak dapat didengar, dapat dilihat, dapat dirasa), komunikasi batin (dapat didengar, dapat dilihat, dapat dirasa) yang satu ini adalah terobosan baru yang barusan dipikirkan oleh Pramoedia Taufik Gazhali, ya.. inilah saatnya aku memperoleh nobel, aku akan mendobrak teori yang ada. Aku akan menggemparkan dunia.

Setiap manusia mempunyai dua sisi, dalam filisofi antah berantah disebut yin dan yang. Kamu akan disebut gila apabila kelebihan yin, karena kamu akan bermain dengan dunia yang diciptakan oleh anganmu sendiri, sering disebut dunia khayalan, tidak perduli dengan psikologi kepribadian dimana kamu mengotakkan seseorang melalui body nya lalu disangkutkan dengan sifatnya, karena kekasihku yang paling seksi didunia adalah sosok yang paling menyebalkan dan ibuku cewek seksi no.1 sedunia adalah sosok yang paling menyejukkan. Kamu juga akan kurus kering dan menderita saat kamu terlalu banyak berhubungan dan bersimpati dengan orang lain, aku sebut ini dengan kelebihan yang. Semua harus diseimbangkan, harmoni, selaras, seperti sebuah irama “ketukan drum ¾, gitar mendawai dengan lembutnya, dan hentakan bas sebagai ketukan dasarnya, lalu melodi mulai mendesak dengan raungan distorsi bernada tinggi, vocal masuk dengan serak dan drum mulai berubah ketukan ½, tempo dinaikkan dua kali lipat, lalu cowok-cowok anggun itu mulai hengkang dari depan panggung.” tetapi semua harus tetap berlanjut dari intro sampa outro. Komunikasi batin ini aku sebut komunikasi personal, tidakkah kamu sadar kadang kamu harus bertengkar keras dengan belenggu pikiranmu, dimana ideal belum tentu benar.

Tertidur

Elegy esok pagi menjadi khayalan sang mentari

Bayu meniup dahan dammar

Pelan perlahan lirih menghentakkan dedaunan

Kusam hitam kelam

Ranting kering bergesek nyarinng

Lalu menghempaskanku menuju suarga loka

Aku tidak suka dengan puisimu yang ini, puisi sampah yang tak lebih hanya deretan kata-kata yang jarang didengar oleh kupingku. Ya.. rangkaian kata-kata indah, tapi tanpa makna. Kau tahu kawan, hambar rasanya. Cobalah tengok yang satu ini

Sabar Seorang Pelacur

Mendung berujung murung

Takala tangisan itu mulai meraung

Air bah telah turun gunung

Mendung berujung murung

Panas terasa dingin

Takala anak itu mulai ingin

Sedekah sudah tak mungkin

Panas terasa dingin

Neraka nikmat surga

Takala mulut itu mulai menganga

Ah… hasrat menghianatinya

Neraka nikmat surga

Sabar seorang pelacur

Takala bencana itu mulai terlanjur

Biar hati, agama, vagina hancur

Sabar seorang pelacur

Telah kuciptakan masterpiece yang indahnya tiada dua didunia, melebihi indahnya suasana sore ditepi pantai dengan langit biru lalu kekuning lebih kebawah oranye turun sedikit kemerah-merahan dan sang surya mulai mengantuk, betapa narsisnya dia yang selalu berkaca kepada samudra. Lihat saja komposisi rima disetiap baitnya, indah bukan? Aku dapat bercerita disetiap kata mengenai pedihnya kehidupan. Terdapat irama didalamnya. Aku dapat mendengar, melihat, dan berkata apa yang kamu dengar, lihat dan ucapkan, tapi sanyangnya kamu bertingkah cacat.

Jadi, kalau kau katakan tulisanku ini meloncat-lontat biarlah. Karena aku adalah jeruk, jangan pernah menelanku bulat-bulat. Kupas dulu kulitku, lalu hilangkan serabut yang membalut dalamanku lalu kau akan mempeoleh kejutan didalamnya entah itu masam ataupun manis. Kadang aku menempuh jalan penuh bebatuan lalu naik turun gunung hanya untuk ketempatmu yang sebenarnya berjarak satu lemparan batu saja. Tetapi tak apa, karena aku ingin melihat pemandangan yang indah terlebih dahulu dan aku akan bercerita padamu mengenai indahnya. Aku juga bisa terbang dan menghilang, bersinku bahkan menggetarkan bumi. Bunga mawar yang mekar dihalaman rumahmu sangat indah tapi itu bukan aku. Bukan sekedar bunga yang indah tetapi tak semerbak. Indah semerbak harum dan mewangi, mungkin aku melati. Banyanganmu adalah tubuhku, tubuhmu adalah bayanganku, kakiku adalah matamu, pacarku adalah pacarku. Ya.. tak jelas, rumit, pusing, membingungkan. Tapi semua yang aku lakukan adalah tentang kamu.

Perkenalkan aku adalah raja sastra. Bila kau bertanya padaku apakah sastra itu? Aku telah menjawabnya dengan panjang lebar. sastra adalah aku. Aku yang bermain dengan perasaan, aku yang seorang pemikir, aku yang memperoleh nobel, aku yang penghayal, aku yang iri dengki, aku yang narsis. Sastra adalah kebebasan, kebebasan yang menyentuh perasaan, maka dari itu dia indah. Sastralah yang membuatku ingin mengetik “lsabjfirwuefrnsf17363//.;urduffffffhgjjaqwtyiookppmmnbvvcxzdw3568jbbmmcxzasddghgjhkjlklpoiuyyttreewq” untuk menggambarkannya. Tanpa disadari aku telah larut didalamnya hingga aku jadi seorang manusia hina yang merasa paling benar sedunia.

Masih igatkah kamu akan keseimbangan? Ternyata aku memiliki yin yang berlebih. Hingga akhirnya aku menempati rumah yang penuh dengan orang-orang jujur nian merdeka.

SELESAI

Harnono Taufik (lalu bagaimana aku dapat menghakimi suatu karya sastra??) Klaten, 04 Oktober 2008, 02:06 AM.

Pengantin

Melangkah aku di atas karpet merah yang bertaburan kembang melati, ku injak satu kaki, arrrgggghhh…!!! perihnya terasa dari kaki menuju hati, ya… disitulah penyakit itu bermuara. Tapi langkahku tak gontai maupun layu, aku mencoba untuk melangkah tegap dan tetap menuju kursi merah. Kursi yang pastinya mengharuskan aku bersikap manis didepan ratusan orang tiga jam kedepan, akulah selebriti yang keindahannya dikagumi mereka, maka disitu sebenarnya aku sudah mati, sehingga tak terbayangkan lagi betapa bencinya aku pada kursi itu.

Tapi ratusan mata menatap alur jalanku, “anggun” kata mereka dengan matanya. Langkahku yang sempit terhimpit helaian kain yang menjepit, sepuluh sama dengan tiga puluh bahkan bisa lebih, kalau kurang aku rasa tidak. Kenapa aku harus begitu tersiksa hanya untuk sampai disana.

Aku adalah orang yang tercela. Seorang mantan istri yang penuh dosa. Tiba-tiba suasana semakin muram, perasaan apa ini? Kenapa semuanya gelap. Ataukah aku hanya berkhayal? Belum cukupkah sepasang mata yang sarat akan dendam, sesal, pedih, dan kecewa itu memandangku. Sudah-sudahlah, hentikanlah, cara pandangmu yang seperti itu, bisa meledakkan hatiku. Ya.. aku mengaku bersalah, telah menghianatimu malam itu. Ah… sungguh beratnya beban ini, hingga dia menghantuiku.

Malam dimana seharusnya aku serahkan bunga kebanggaan wanita kepada seorang yang aku cintai dan tentulah halal bagiku untuk membiarkanmu meraba seluruh lekuk batangnya yang eksotik, berselancar dihalusnya daun cekung lumayan kenyal menggelembung, mencium harumnya, sehingga pada akhirnya kamu dapat mencicipi manisnya madu diantara hangatnya bungaku.

Sudah-sudah, aku bayangkan itu tiga tahun yang lalu, sejak pertama kali kau bilang “Boleh kenalan g’? Junod.” Dengan sigapnya kau merayuku ditengah kerumunan orang dipasar malam. Semakin mendekat dan merapat, hah… kamu igin mengambil hatiku. Sudah terpampang jelas susunan huruf itu, lewat kode-kode morse yang kau tunjukan saat kau mulai berkeliaran disekitarku. Tapi aku bukanlah manusia yang mudah untuk telanjang, aku selalu ingin menutup segala yang kau anggap menarik. Kau harus memujaku sebelum kuserahkan apa yang menjadi inginmu.

Aku bagaikan kepompong yang lama kelamaan pun akan rapuh, tak sanggup lagi menahan keindahan cinta yang mulai kau tumbuhkan didalam diriku.

Waktu itu sore dipantai, aku sedang duduk menyendiri menikmati sinar matahari yang sudah mulai bersembunyi di perujungan cakrawala, kamu meninggalkan temanmu lalu menghampiriku dan bertanya “maryani pernah bercinta g’?”

Tersentak aku mendengar pertanyaan aneh darimu, pertanyaan yang seolah-olah mengartikan bahwa aku ini seorang wanita jalang, agak marah aku katakan “nanyanya kok aneh-aneh sih? Ya enggak lah.”

Senyum kecilmu itu tergores sejenak sebelum kau berpaling dari ku menatap menuju matahari kau mulai berkata “aku ingin bercinta denganmu.” Lalu kau tatap wajahku yang sedang bermimik aneh dan bertanya-tanya, kenapa kamu bisa berkata selancang itu kepada wanita baik-baik sepertiku

“kamu gila ya?” tanyaku,

“aku ingin bercinta denganmu setelah menikah, tiga tahun kedepan, untuk sekarang kamu jadi pacarku aja dulu.” Katanya datar, seakan-akan dia yakin bahwa aku pasti akan jadi miliknya.

Aku yang masih terkaget tiba-tiba merasakan tangannya menggenggam erat tanganku, lalu diciumnya keningku, tak lagi aku berdaya dihadapannya, sudahlah tak usah lagi aku berbohong, inilah yang aku inginkan dan kini aku telah dapatkan.

Kau adalah sebongkah daging yang bertulang, mempunyai jiwa yang penuh arsa. Arsa… suatu kata asing yang bagiku, ini melambangkan kesatuan yang harmonis antara manusia dengan malaikat impian yang tersembunyi didalam mimpi setiap wanita, akan dambaan kesempurnaan hati dan perbuatan pria terhadapnya. Tak terbayangkan lagi, betapa beruntungnya aku mendapatkan seorang malaikat yang menjelma dalam raga sepertimu yang sebentar lagi menjadi suamiku.

Aku tahu benar sayang, menjadi pengantin itu masalah mudah. Susah adalah bagaimana kita bisa menikah setiap hari, karena aku selalu ingin jatuh cinta padamu setiap pagi dan kita menikmati hari yang penuh cinta sampai tua, bahkan kalau bisa sampai di surga pun kita tetap sebagai suami istri. Sayang, itulah impianku sebelum kita menikah hari itu.

Aku adalah orang yang tercela, seorang mantan istri yang penuh dosa. Ya.. aku mengaku bersalah, telah menghianatimu malam itu. Malam dimana seharusnya aku serahkan bunga kebanggaan wanita kepada seorang yang aku cintai dan tentulah halal bagiku untuk membiarkanmu meraba seluruh lekuk batangnya yang eksotik, berselancar dihalusnya daun cekung yang lumayan kenyal menggelembung, mencium harumnya, sehingga pada akhirnya kamu dapat mencicipi manisnya madu didalam hangatnya bungaku. Sudah-sudah, aku bayangkan itu tiga hari yang lalu.

Kurebahkan tubuh ini di kasur yang dibalut sprei merah marun bermotifkan bunga melati putih. Memang tak ada lampu yang menyala dikamar ini, hanya lilin-lilin itu, berkelik menyala meremangkan cahaya, menebarkan harumnya lavender sebagai aroma terapinya. Kamu belum juga datang, teganya kau membiarkan ku tersiksa dalam romansa cinta yang sudah bercampur dengan nafsu, hingga aku tak tahu lagi perasaan apa ini? Hampir tak ada garis yang membatasi hitam dan putihnya, semuanya abu-abu, samar, tak jelas, memabukkan.

Sekelebat bayangan melintas di jendela depan kamar, pikirku, sudah tentu itu dirimu. Jantungku mulai berdebar keras saat gerenyit bunyi pintu itu mulai terdegar. Sudah banyak sekali gambaran-gambaran erotis yang menjijikkan itu muncul. Tapi aneh… sekarang aku tak lagi merasa jijik, bahkan sangat amat ingin sekali aku merasakannya. Aku mulai tidur miring membelakangi pintu, berharap muka mesumku tak tampak olehmu. Bulu kuduku mulai berdiri dan api ini telah berkobar menyala-nyala seiring bunyi langkahmu yang semakin mendekat. Selamat datang sayang, sudah waktunya kita melanyang menuju nikmatnya senggama.

Perlahan tanganmu menyetuh punggungku dengan lembut. Tak tahan lagi aku menghambat birahi ini. Aku mulai memalingkan tubuhku, tanganku merangkul punggungnya, dengan lembut kutarik bayangan hitam itu mendekat kewajahku. Terasa sedikit meronta dia, mungkin tak menyangka bahwa aku akan seagresif ini. Kupejamkan mataku, mencoba merasakan gejolak ini. Lalu bibir kami saling bertumbukan. Perlahan dia sudah tak meronta lagi dan mulai berusaha untuk mengimbangi. Tanpa aku sadari bibirku sudah pintar sendiri untuk bisa mengetahui gerakan apa yang harus dilakukan disaat seperti ini. Rasaya empuk, lembut, seperti tersedot dengan halus.

Nafas dan seluruh tubuhku terhenti saat aku membuka mata. Terlihat wajah yang sangat familiar, wajah yang hitam samar sebagian, tapi cukup jelas sebagiannya lagi tersapu oleh sinar lilin. Bukan… wajah itu!! Lalu kutarik bibirku.

“ma.. mas” kataku tertahan.

Dia hanya diam tanpa menjawab, hanya mata kami yang saling berpandangan, mata yang dibutakan oleh nafsu. Logika kami mati, rasa kami sudah sehati, tubuh kami terlanjur menikmati, hasrat kami sudah tinggi, kami sudah tak sanggup lagi berenang menepi, kami sudah tenggelam.

“pak.. wong.. diluar banyak tamu kok malah ditinggal santai-santai dikamar,” membuka pintu sambil berjalan menghampiri suaminya, laki-laki setengah abad yang sedang duduk di kursi goyang usang kesanyangannya sambil menghisap rokok. Masih mengenakan celana kain dan bersepatu rapih tetapi cuma memakai singlet sebagai atasannya.

“bentar lah buk.. ni encokku kumat, tak istirahat dulu. Biar di luar diurus sama si Eko dulu.” Sahutnya sambil sedikit membenahi posisi duduknya. Lalu menggeleng keenakan setelah mendapatkan pijitan di bahunya oleh sang istri. Keduanya mendadak terhenti dari aktifitasnya lalu mencondongkan telinganya agak ke kanan, ke arah kamar sebelah yang dibatasi oleh tembok, mencoba mendengarkan dengan seksama. Ternyata disaat itu sayup terdengar suara seorang perempuan menjerit. Keduanya berpandangan lalu tersenyum geli.

Si istri menepuk punggung suaminya “gak capek apa ya pak? habis balik dari gedung pernikahan kok malemnya langsung….?” Katanya sambil cengar-cegir.

“halah.. ibu dulu juga gitu kok. Malah baru dua jam setelah nikah langsung gajak bapak teettot..teetoot!!! capekan mana hayoo?” timpal sang suami.

“si Eko itu lho pak, coba dinasehatin, suruh nyusul adeknya juga. Tar keburu tua lho pak” terselip kehawatiran seorang ibu kepada anak yang satunya.

“Eko itu orangnya berprinsip dan susah diatur, sudah… biarkan saja dia, barangkali masih pengen bebas. Umurnya kan juga baru 26 tahun, masih muda itu untuk ukuran laki-laki” Mematikan rokoknya lalu berdiri menuju gantungan baju, sementara istrinya beralih duduk ditepi tempat tidur.

“iya pak.. tapi Eko itu kan sudah kerja, punya rumah sendiri walaupun masih kredit, hitungannya dia sudah mapan pak. masa iya sih gak ada gadis yang nyantol sama dia?”

Sang suami berjalan menghampiri istrinya sambil mengenakan baju batik coklat, duduk disampingnya lalu berkata “nah.. itu bedanya Eko sama Arjuno. Eko yang sudah mapan aja masih mikir-mikir kok kalau mau kawin. Eh.. adhine sing lagi 24 tahun wae kok wis ngebet, padahal belum keja, mau dikasih makan apa Yani dan anak-anaknya nanti?” menggelengkan kepala lalu berdiri dan berjalan menggambil asbak di meja dekat kursi goyang.

Sang istri hanya melihatnya “nah… kan ada Eko, biar Junod ikut kerja masnya dulu pasti diterima, dia kan mandor proyek”

“ibu itu kaya gak ngerti Junod aja, dia itu udah ngerasa pinter, lulus kuliah IP 3 koma, mana mau dia kerja kasar,” kekecewaan si suami terlihat jelas melihat si bungsu yang paling dibanggakan kepintarannya itu belum juga berhasil mendapatkan pekerjaan.

Selagi mereka berdua sibuk menilik anaknya, pintu kamar ada yang mengetuk. Lalu masuklah Junod. Suami istri itu pun keheranan, melihat anaknya masih berjas rapih, tak ada tanda keringat sedikit pun. Junod tertegun ikut mengerutkan dahi saat dilihatnya kedua orangtua itu memandanginya dengan aneh. Lalu sang suami mulai berubah merah menyala, dia menjatuhkan asbak yang sedang digenggamnya kelantai, beranjak cepat keluar kamar diikuti istri dan anaknya.

“blak….” Suara pintu kamar terdobrak membahana dengan kerasnya. Sosok bayangan yang berada diatas kasur itu sontak meloncat. Yang satu berdiri ditepian kasur lalu meraih pakaian, diseretnya menutupi kemaluan. Sedangkan sosok yang satu lagi bangkit dari tidurnya mendendeng selimut dari dada kebawah. Keduanya berkeringat, mukanya merah padam, matanya panic, badanya pun gemetar. Tertusuk oleh sorotan mata itu.

Sosok tua yang berada dipintu hanya berdiri diam, tetapi matanya telah berlari menusuk mereka sangat dalam. Berbeda dengan sosok muda yang barusan datang dari belakang. Sosok itu langsung masuk kedalam lalu terhenti tepat setelah dia berhasil melihat wajah dua bayangan tadi.

“ya Allah… Eko…!! Yani..!!” sang istri berteriak sebelum keempat sosok itu sempat bergerak. Suara itu tidak begitu kencang, tetapi cukup untuk mengundang para tamu dan rewang untuk datang. Lalu wanita itu pun tumbang, menimpa suaminya yang berdiri ditengah pintu. Junod juga berpaling menuju sang ibu.

Eko dengan sigap mengenakan pakaian lalu berlari mendekat, “pergi kalian dari sini, haram hukumnya mendekat” sentak Junod kepada kakak dan istrinya, ternyata dalam kepanikan menolong ibunya pikirannya masih belum lepas dari kejadian barusan.

Eko dan yani hanya bisa bersalah terdiam. Tak berdaya lagi mereka mengeluarkan pembelaan. Yani berlari keluar saat terdengar suara orang-orang yang mulai berdatangan. Eko dengan bimbang akhirnya mengejar Yani, sekaligus guna menutupi rasa malu dia.

Waaaaaaaa….. setan apa yang telah merasukiku tadi? Penyesalan itu hinggap sekejap dikepala. “Yani..!! berhenti!” aku berteriak saat melihat Yani berlari menerobos melawan arus kerumunan yang mulai bergerak menuju kamar dosa kami.

Mereka menatap Yani dan aku dengan heran, mencoba mencerna dan mengira kejadian apa yang terjadi barusan. Apalagi melihat yani yang hanya berbalut selimut dan aku telanjang badan. Tidak mungkin kalau hanya main kejar-kejaran, orang bodoh pun tahu itu. Orang-orang itu sebagian mulai berbalik arah mengikutiku dan yani.

Langkahku terhenti didepan rumah, saat tak aku dapati jejak Yani. Menghilang kemana dia? Kekuatan apa yang membuat gadis lemah gemulai seperti dia bisa berlari secepat itu? Lemah.. jangan-jangan…? Astaga.. Yani!! Sekarang aku tahu dimana dia, ternyata dia masih lemah. Otak tengahku memberi siyal intuisi yang kuat. Tak ada keraguan lagi aku segera berlari menuju kesana.

“Eko! Arep nangendi” Baru tiga langkah aku berlari Pakde meneriakiku.

Menengok kebelakang sebentar “Yani arep bunuh diri” lalu aku melanjutkan langkahku, aku takut sekali kehabisan waktu. Sempat terdengar juga banyak langkah dibelakang mengikutiku.

Aku mulai berpikir ditegah pelarianku, apa yang harus ku katakan untuk membujuk Yani? Apakah harus kujelaskan bahwa sebenarnya aku masuk kamar mencari Junod meminta Hand Phoneku yang dipinjamnya, tapi yang kutemui hanya dirimu yang sedang berbaring, lalu aku berniat bertanya padamu, tapi kau tiba-tiba saja menarikku dan menciumku. Mulanaya masih meronta aku mencoba mengembalikan kewarasan, tapi tak tahu kenapa tatapan matamu menarikku kedalam. Tapi bukankah itu berarti menyudutkanmu, ah…. Tidak aku tidak akan mengatakannya. Lalu apa yang harus aku katakan?

Belum sempat aku menemukan alasan yang tepat, ternyata aku sudah sampai di Kretek Abang. Tak sempat terpikir olehku sejak kapan aku bisa berlari 1 kilo tanpa berhenti, bahkan tanpa melihat jalan, pikiranku terlalu kalut. Aku pandangi sekeliling mencoba mencari sosok tapi tak jua ku dapat. Pikiranku mulai sibuk, perasaanku mendadak buruk. Segera saja kutengok sugai dibawah lewat tepi jembatan. Mataku terbelalak melihat air yang tenang karena kedalamannya mulai bergemercik bergelombang. Sosok itu terlihat meronta timbul tenggelam. Mata kami sempat bertumbukkan, walaupun hanya dua detik. Tapi sangat jelas pesan tentang gairah hidup, tangisan penyesalan, ketakutan kematian, rengekan pertolongan. Semua itu tersampaikan padaku. Tanpa berpikir panjang lagi meloncatlah aku. Aku berhasil merangkul tubuhnya, lalu menyeretnya ke tepi.

Aku belum pernah melihat yang seperti ini, wajah itu tampak putih pucat, tubuh itu gugup, masih terbatuk-batuk dia mengeluarkan cairan yang terpaksa masuk kedalam tubuhnya. Sepertinya dia ketakutan dengan sesuatu. Mungkin dia telah melihat kilasan dosa selama hidupnya. Mungkin tangan si jibril tinggal satu jengkal lagi diatas kepalanya. Mungkin dia hendak berlari kembali setelah sampai di batas hidup dan mati. Mungkin dia menyesal setelah hasat menuju akhir harus berakhir dengan ketakutan.

Lalu dia menatapku dan menangis. Apa yang bisa aku lakukan, selain memeluknya dan menyediakan perlindungan bagi jiwa yang terguncang itu.

“Aku akan.. Menikahimu.” Entah kenapa aku merasa perlu mengucapkan kalimat ini. Mungkin kalimat ini dapat menjawab sedikit kegundahannya. Aku pun juga berjanji akan menggelar resepsi pernikahan di kota tempatku bekerja, jauh dari sini. Hanya mencoba meyakinkannya, bahwa aku tidak akan membedakan dan ku berikan semua kebahagiaan yang aku dapatkan.

Dia menatapku dengan heran, ku rasa dia sudah tersadar. “Tapi bagai mana mungkin?” ucap dia dengan ragu.

“Dengar.. kita tidak akan pernah bisa hidup sebagai orang baik lagi disini. Dan aku pun harus bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan.”

“tapi.. Junod?” masih juga dia memikirkan cintanya.

“Aku.. tahu kamu mencintai Junod, tapi apa yang bisa kita katakan untuk mendapat maafnya, dia adikku dan aku tahu dia itu bukan orang pemaaf.” Sudah ku tetapkan bahwa aku akan bertanggung jawab atas semua ke tidak warasanku, terhadap Junod, keluarga, dan orang-orang desa yang mengaku bersahaja itu.

“Lalu, kenapa kamu bisa masuk ke kamar kami?” dia memulai pertanyaan yang dari tadi belum juga aku temukan yang tepat bagi dia.

“mas.. Eko!” cubitannya menggugah aku dari keadaan bingung.

“Sebenarnya aku suka kamu” hanya alasan palsu ini yang terlintas di benakku, entah sepertinya aku terlalu banyak menonton TV, hingga alasanku terkesan munafik dan dramatis. Yani menatapku dengan terkejut, seakan aku sudah berniat jahat terhadapnya jauh sebelum malam pengantinnya.

“plak…” dia menamparku, sekarang aku menjadi orang yang paling busuk dalam kejadian ini. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia meronta. “Yani… tolong berhenti, aku akan bertanggung jawab !”.

Dia berhenti dari rontaannya, pandangannya sinis terhadapku “ternyata mas egois, tega menghancurkan hidup kami hanya demi cinta mas sendiri, lebih baik aku dibiarkan mati dari pada harus hidup seperti ini” dia berbicara seolah-olah kematian adalah jalan paling mudah dalam menyelesaikan masalah.

“baiklah, silahkan mati, tapi jangan melihatku lagi.” Yani tertegun mendengar perkataan dari ku, dia tidak cukup bodoh untuk menyesal dua kali. Tetapi dia juga bukan perempuan lugu dengan mudahnya bisa dirayu.

Akhirnya aku memang perlu untuk jujur saja padanya. Rasanya semakin sulit saja posisiku dimatanya kalau aku terus berbohong. Apalah arti kehidupan kalau tidak bisa bangkit dari permasalahan.

Lihat saja dua manusia yang sedang berduka di pinggiran kali di malam hari di antara rimbunan rumput Teki. Sang perempuan dengan wajah malu dan bersalah hanya bisa bersembunyi di ketiak sang laki-laki yang agaknya lebih tegar dalam menghadapi masalah. Lalu keduanya kaget saat seseorang yang biasa mereka panggil Pakde memergoki mereka.

Pakde adalah tokoh penengah dalam peristiwa yang memilukan ini. Pakde lah yang menyampaikan surat dari Maryani kepada Junod, surat yang dibuat dalam waktu 15 menit saja

“Tolong jangan salahkan seorang istri yang menghabiskan malam pertamanya dengan kakak dari suami sendiri didalam kamar pengantin kami. Salahkan saja tuhan yang mengkaruniai kami nafsu dan kerapuhan hati untuk bisa menolak rayuan kenikmatannya. Salahkan saja mas Junod, suamiku yang tak kunjung datang berperang. Maaf mas Junod.. aku bagaikan kepompong yang lama kelamaan pun akan rapuh, tak sanggup lagi menahan hasrat kenikmatan yang mulai berkobar didalam diriku, maafkan istri dan kakakmu yang hina ini.”

Membaca surat ini aku rasa Maryani dan Eko adalah manusia yang sangat menyedihkan. Mereka menyalahkan tuhan disaat tidak ada lagi pembelaan. Apakah tuhan muara kesalahan.

Pakde juga mengutarakan permohonan cerai dari Maryani. Tentu saja Junod yang masih buta itu pun mengabulkannya. Pakde juga mengatakan niat Maryani dan Eko yang akan meninggalkan desa ini menikah dan hidup bersama entah dimana kepada orang tuanya. Tentu saja mereka yang masih buta itu pun mengabulkannya. Lalu Pakde mengambil barang Maryani dan Junod.

Malam itu juga Pakde berpisah dengan mereka diterminal. Demi nama baik keluarga, itu saja sudah cukup alasan bagi Pakde untuk melakukan semua itu.

Selasa, 22 Juli 2008

Pria vs Wanita = Manusia

Mimpiku sih pengen jadi super hero

Punya kekuatan mengubah jenis kelamin

Akan ku ubah mereka menjadi lawan jenisnya

Biar mereka tahu arti sebuah karunia

Bukan emansipasi pria

Bukan dominasi wanita

Semua hanya manusia

Kok bagiku emasipasi wanita malah nunjukin lemahnya

Setelah wanita kuat berarti giliran pria yang beremansipasi

Bagai mana kalau melihat manusia

Everythings is possible katanya

Wanita dan pria itu sama saja

Mereka hanya butuh lubang dan jarum untuk menggandakan jenisnya

Bukan emansipasi wanita

Bukan dominasi pria

Salahkan saja egoisme manusia

Harnono Taufik (egoisme selalu menginginkan lebih dan lebih, itulah manusia. Mereka sama saja.) Djogja, 18 Juli 2008, 3:44 AM.

Sabar Seorang Pelacur

Mendung berujung murung

Takala tangisan itu mulai meraung

Air bah telah turun gunung

Mendung berujung murung


Panas terasa dingin

Takala anak itu mulai ingin

Sedekah sudah tak mungkin

Panas terasa dingin


Neraka nikmat surga

Takala mulut itu mulai menganga

Ah… hasrat menghianatinya

Neraka nikmat surga


Sabar seorang pelacur

Takala bencana itu mulai terlanjur

Biar hati, agama, vagina hancur

Sabar seorang pelacur


Harnono Taufik (bagai mana mungkin dia dapat menghidupi anaknya, bila bencana telah merenggut segalanya, kecuali tubuhnya? Siang bekerja malam menjadi penjaja) Djogja, 18 Juli 2008, 3:02 AM.

Minggu, 15 Juni 2008

Tata…. Ini Dunia Kita

Hari ini pertama kalinya aku mendengar suara itu. Suara yang sudah lama aku idam-idamkan tuk dapat membalas nada yang lembut, dalam, berat tapi agak sayu, dengan suara ku yang nyleneh dan agak berat juga ini. Tanpa ada kata pembuka yang penuh bualan dan basa basi, seakan sudah lama saja kami mendambakan untuk dapat berkeluh kesah dan mulai intim, kami lagsung memulai bicara dengan bahasan yang lumayan mengasyikkan bagiku. Kami bicara tentang sepenggal hidup, materi, aturan, dan penutup yang manis cinta.

Hidup

Ternyata g’ jauh beda hidup yang kami rasa tentang gejolak jiwa kami yang seakan merasa dikucilkan oleh mereka yang kadang menganggap kami terlau “aneh” dan menikmati dunia kami sendiri tanpa perduli pada mereka. Ataukah kami yang terlalu depresi dan tak mau membuka diri hingga menganggap diri kami yang paling menderita ???.

Dibalik kesamaan ini pun ternyata kami juga tetap ada beda. Dia menganggap hidup adalah takdir yang sudah ditetapkan oleh –Nya. Perihal lika-liku masalah yang di hadapi manusia hanyalah ujian. Bagi mereka yang mampu melaluinya maka manusia beranjak ketingkatan yang lebih dewasa dan bagi mereka yang gagal maka mereka belum dapat mencapai tingkatan yang lebih dewasa. lika-liku itu adalah jalan dimana akan mencapai satu titik tujuan yaitu takdir yang sudah ditentukan oleh yang diatas. Maka mereka wajib bersyukur atas apa yang diterimanya.

Aku sendiri menganggap takdir itu adalah omong kosong, hidup adalah pilihan, aku lebih setuju dengan kata-kata itu. Dimana manusia ini ada dengan segala ukuran kecerdasan, masalah, sikap, perbuatan dan tingkah-lakunya, hingga mempengaruhi pilihan mereka terhadap sesuatu apapun hingga sampai pada titik dimana dia harus memilih lagi untuk menjalani pilihannya dengan segala konsekuensi. Maka manusia berhak untuk jadi apapun sesuai dengan pilihan dan segala pertimbangan logika mereka. Manusia adalah mahkluk yang jauh lebih rumit dari apapun dan bukan robot yang bergerak secara mekanis. Maka mereka wajib bersyukur atas kebebasannya.

Materi

Terkadang kami merasa iri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain yang notabennya mereka lebih kaya. Masalah mereka serasa cepat saja selesai, asal ada yang namanya uang. Terkadang kami ingin juga membeli sepatu yang mahal itu tetapi apa daya uang pun jadi kambing hitamnya. Ingin kami dilahirkan atau berpindah tempat dengan mereka. Kami yang harus merasakan peliknya dunia dan kalkulasi ekonomi untuk hari ini, untuk dapat bersekolah atau merasa sama didepan mereka. Apakah ini yang namanya takdir ???

Tetapi kami juga mengerti uang bukan segalanya tuk dapat mencari pengakuan, uang juga bukan segalanya untuk dapat mengembangkan diri berusaha menjadi apa yang kita suka. Dia juga bercerita “mungkin aku akan bahagia kalau memakai sepatu itu. Saat itu juga aku melihat seorang perempuan tanpa kaki tersenyum dengan tulusnya, senyum… senyum itu… senyum itu juga senyum bahagia. Alih-alih memakai sepatu berdiri saja dia tidak bisa.”

“kali ini kita sama”

Aturan

Aturan hanya menggiring kita untuk beranggapan bahwa yang baik itu adalah yang tidak melanggar aturan. Sehingga sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dianggap baik oleh orang kebanyakan. Apakah yang dianggap baik oleh orang sedikit belum tentu baik ??? apakah semuanya harus sama ??

Dia bercerita “aku ini sering terlambat masuk kelas, jadi sering diusir dosen. Tapi apa salah, aku yang sudah berlari menaiki tangga, sudah berniat ingin menuntut ilmu harus diusir atas niat baikku itu ?? padahal banyak manusia juga dikelas itu yang hanya tiduran, mereka tidak berniat menuntut ilmu, mereka hanya mematuhi aturan. Dosen berhak memberikan dan mangajarkan dan kita juga berhak atas ilmu yang ingin kita pelajari. Aaarrrrgggghhhh membosankan !!!”

Aku yang setuju langsung menimpali “ aku juga, sering aktif dikelas dan aku rasa aku juga cukup menguasai materi yang diberikan, lebih dikit malah. Tapi kenapa kok orang-orang yang hanya diam….diam…dan diam dikelas dan kalau ada presentasi mereka juga masih amburadul dalam penguasaan materi, duduk angkuh seperti robot yang sudah diprogram untuk hanya menerima tanpa mengkritisi, mendapatkan nilai yang lebih dari aku. Padahal aku rasa aku juga siap kalau diadu head to head dengan mereka masalah penguasaan,penjelasan dan pengaplikasian ilmu”.

Dengan semangat dia juga bercerita tentang malasnya dia masuk kuliah hanya dikarenakan dosennya yang menjelaskan materi ngalor-ngidul tak jelas sehingga point yang akan disampaikan malah kabur. Tapi dalam perenunganku mungkin ini hanya alasan pembenaran kami akan kekurangan kami dalam belajar.

Cinta

Hah… akhirnya kami sampai juga kesesi yang sangat amat manis dalam menutup suatu obrolan malam hari. Cinta sesuatu yang “sexy” dilihat dari manapun tatap menarik, kata beberapa temanku.

Aku mulai sesi ini dari ungkapan “aku habis putus” ya.. putus dengan seseorang yang sudah lama aku suka, bukan hanya suka cinta malah. Sejak kelas satu SMA sampai sekarang. Walaupun SMA aku g’ pacaran sama dia tapi aku tahu kalau dia juga punya rasa ke aku, g’ tahu kenapa mungkin ini yang dinamakan intuisi, “ya..kan ta” setelah kuliah aku pernah berhubungan tapi ternyata harus dipisahkan jarak. Akhirnya aku putuskan untuk putus, karena aku ini orangnya g’ bisa terikat ketat. Setelah dia balik jogja aku mulai berhubungan lagi dengannya. Tepatnya tiga bulan yang lalu kami jadian tapi secara terbuka dia mengungkapkan ingin menjajaki hubungan dengan yang lain karena dia rasa yang lain itu lebih dariku, kecuali sifat yang belum terlalu dalam dia tahu dari yang lain itu, ungkapnya setelah dua bulan kemudian. Aku pun hanya meng iyakan…. tak boleh juga aku memaksa, pikirku. Aku memang cinta dia, tapi bukan berarti dia cinta aku. Dan aku pun belum bisa jujur tentang sesuatu yang ada dibelakangku yang mungkin bisa mempengaruhi kedepanku. Lima hari lalu dia memohon kembali padaku. “hah…memang aku ini barang second yang gampang dibeli dengan harga murah”. Aku akui, aku bukan hanya sayang dengannya, cinta melah. Tapi bukan berarti aku harus berkorban harga diri hanya untuk mendapatkannya, cinta bukan seperti itu. Cinta itu ketulusan membutuhkan bukan pelampiasan. Munafik memang, tapi inilah pilihan. “just let it go, my love”

Belum pantas aku tuk ungkapkan kisah cintanya tata disini. Mungkin suatu hari nanti dia akan ungkapkan kisahnya lewat cara lain. Yang jelas bukan disini. Tapi jujur aku sangat tertarik akan transformasi dia dari gadis yang setia dan loyal pada cintanya berubah menjadi gadis yang tegas dan tegar akan pilihannya terhadap cinta, kehidupan dan para laki-laki malang nan beruntung itu.

Aku harap kita bisa melanjutkan dunia kita dengan penuh penghargaan kepada sesama “ayo…bikin komunitas Asosial”

Jumat, 06 Juni 2008

Wajah Muram Mahasiswa

Wajah mahasiswa ideal menurut ku adalah mahasiswa yang mampu berfikir inovatif dan harmonis. Inovatif berarti mahasiswa harus mampu menciptakan sesuatu, bukan hanya mengikuti apa yang sudah ada. Sedangkan harmonis adalah mampu menyeimbangkan antara pencapaian nilai akademik dan peranannya sebagai "agen social of change".
Hal ini sering kali mudah untuk dikatakan dan dibayangkan, tetapi dalam kenyataannya banyak mahasiswa yang masih timpang dalam menjalankan porsinya. Bukan karena mereka tidak mengetahui hal ini, tetapi mereka tidak sadar akan pentingnya membangun idealisme pemuda yang kelak akan menjadi tulang punggung negara. Seharusnya mahasiswa mampu meningkatkan posisi tawar mereka terhadap pemerintahan maupun masyarakat.
Kuranggnya posisi tawar mahasiswa terhadap pemerintah dapat kita lihat pada minimnya peserta demonstrasi yang mengkritik suatu kebijakan pemerintah. Demonstrasi adalah suatu reaksi yang positif dalam usahanya untuk mengeluarkan pendapat dan sikap bahwa suatu kebijakan yang akan atau telah dibuat sudah keluar dari tujuan mencapai manfaat bersama. Hal ini sesungguhnya sangat mulia dan berani, tetapi pada kenyataannya demonstrasi yang terjadi saat ini seperti kehilangan taji bahkan terkesan sia-sia. Anggapan sia-sia inilah yang sering terlontar oleh sebagian besar mahasiswa bahkan masyarakat Indonesia. Kalau hal mulia seperti ini saja sulit diterima dan dijalankan oleh mahasiswa, kita bisa banyangkan betapa buruknya mental perubahan yang tertanam didalam alam fikir calon penerus bangsa kita. Sehingga berpengaruh buruk terhadap citra mahasiswa dimata masyarakat.
Mahasiswa sendiri sekarang lebih berorientasi pada nilai akademik mereka sebagai syarat tanggung jawab mereka kepada orangtua dan memasuki dunia kerja, suatu standarisasi keberhasilan pendidikan. mahasiswa dicetak untuk menjadi robot yang kelak akan mengisi bidang-bidang yang sudah tersedia. bukan berinovasi menjadi seperti Einstein II, Hatta II, Sukarno II, Syahrir II. Padahal kita tahu, mereka adalah sosok yang dikenang karena kecerdasan dan beberaniannya untuk merubah sehingga mendedikasikan hidup dan kecerdasannya untuk masyarakat.

kita perlu menghirup udara untuk bernafas
kita perlu menggerakan jari untuk menulis
ingat kita adalah sandaran
tengadahkan wajahmu wahai pemuda harapan bangsa
lihat suramnya masa depan kita, bangsa, dan dunia
retangkan tangan mulailah berpelukan
karena kita percaya
tidak akan ada progres jika tidak ada perubahan

Selasa, 03 Juni 2008

proletar egois

ada yang bilang demo adalah sesuatu kesia-siaan belaka.
sebuah tindakan yang bersifat mengkritisi sebuah kebijakan yang dinilai keliru. mereka mampu berbicara dan mengeluarkan pendapatnya. aku rasa itu lebih berarti dari pada hanya diam dan menurut.
ada yang bilang mereka mau demo kalau demonya seperti demo reformasi. reformasi tidak akan terjadi kalau mereka tak sadar dan bergerak bersama.
jadi jangan salahkan demo tapi salahkan lah dirimu sendiri yang tidak mau bergerak dan memberontak saat kamu ditindas. akuilah bahwa kamu takut wahai kaum proletar egois.

Sabtu, 22 Maret 2008

KARISTA

Serasa terbanyang kembali ingatan saat dia pertama bertemu dengan pemuda itu, di hari sabtu sore, di sebuah pemakaman, terduduk dia simpuh di samping sebuah makam baru yang masih dihiasi taburan kembang melati dan mawar di atasnya, memadukan komposisi warna merah dan putih dengan sangat anggun. Erlina Mahardika bin Heru Mahardika, lahir 13 Oktober 1987, Wafat 23 Februari 2008. seperti itulah yang terukir di nisan kayu. Wajah yang memucat, mata merah dengan sorot mata sayu berkaca-kaca tapi tak sebutir air mata yang turun dari singgasana kelopaknya. “lihat aku lin, aku sudah menepati janji kita, tidak akan menangis disaat salah satu dari kita terluka dan akan tetap tertawa bersama. Tapi… kau berbohong padaku.. !!! dasar pembohong !!!” dengan muka yang agak culasnya dia berkata, tetapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan hatinya yang penuh luka. Lagit yang tadinya kelam kini sudah takkuasa menahan bebannya, lepaslah air itu membasahi bumi, suara burung gereja yang tadi berkerenyit dan berebut makanan diatas tempat sajen yang terdapat dibeberapa kuburan hilang sudah, bau kemenyan, aroma kembang tujuh rupa pun semakin samar ditelan oleh bau khas tanah yang tersiram air hujan.

Tubuh karista pun tak luput dari guyuran itu, sekarang sudah bagai patung dia disamping kuburan sahabatnya. Entah apa yang ada didalam pikiran seseorang yang ditinggal sahabatnya. Tiba-tiba tetesan hujan tak menyentuh dia lagi. Sesosok laki-laki asing membawa payung hitam berdiri dibelakangnya. “bangun ris.. lihatlah bunga mawar melati itu. Indah memang, tapi dia sudah mulai kriput melayu, indah dan baunya pun kelak akan hilang dan membusuk. Di dunia ini memang tak ada yang kekal”.

Kamis, 17 Januari 2008

WANITA DI BALIK MEJA

Seorang yang teduh, lembut, penuh sayang, malu-malu, perasa, pemaaf dan masih banyak lagi sifat yang dimiliki wanita dalam eksistensinya. Wanita sebagai perlawanan terhadap karisma, kehormatan, keangkuhan, dan keserakahan laki-laki. Dalam masa ini, semakin bergeser menjadi suatu bentuk lain yang dapat meleburkan sifat lawannya dan membentuk suatu kaum wanita baru yang tangguh, ulet, serta berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan, Kita sedang berbicara tentang wanita karier.

Banyak wanita yang menduduki posisi penting dalam berbagai organisasi, jajaran top manajemen, pemerintahan dan berbagai unsur masyarakat. Hal ini menjadikan posisi gender tidak dapat memberikan batasan yang jelas kecuali dari perspektif kelamin. Emansipasi wanita, sebagai bentuk kejenuhan kaum hawa serta reaksi dari kediktatoran kaum adam, semakin menambah motivasi wanita untuk lepas dari belenggu suatu system gender yang memposisikan wanita sebagai objek dari berbagai predikat dan keterangan yang berpihak pada laki-laki sebagai subyek.

Seiring berjalannya waktu, manusia akan terus bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang meraka anggap layak. Motif ekonomi semakin mewarnai wanita dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk bersaing di tengah esensi matrealistik global yang semakin menjadi tolak ukur untuk sebuah kesuksesan dan memperkuat eksistensi mereka.

Merupakan suatu hal yang sangat humanis bahwa seluruh Negara di Dunia memberikan kesempatan yang sama bagi pria maupun wanita dalam mengakses ilmu pengetahuan dan pendidikan. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat jaman dulu yang membatasi ruang lingkup wanita yang hanya sebatas pengetahuan rumah tangga dan etika. Akses ini memberikan jalan terang kepada seluruh wanita memulai berkarya dan mengembangkan diri.

Melihat membesarnya arus globalisasi, menimbulkan maraknya sex bebas. Di tinjau dari fenomena ini maka wanita lah yang paling dirugikan. Tak jarang mereka menjadi single parents sabagai konsekuensi dari sex bebas yang mereka budayakan. Dengan menjadi single parents mereka dituntut untuk dapat bekerja keras dan mempunyai kemampuan untuk dapat melukis masa depan anaknya.

Manusia dituntut berubah seiring dengan perputaran waktu dan insting dasar mereka untuk dapat bertahan hidup. Arus kebudayaan pun mulai bergeser kearah yang dinamis dan fleksibilitas pun dituntut untuk dapat mempertahankan warna mereka yang semakin pudar ditelan arus. Hal ini berpangaruh terhadap sikap wanita yang tidak lagi menjadikan sebuah kebudayaan sebagai batas, di dalam budaya rakyat Minagkabau yang menganut system matrilineal, budaya Jawa yang bipatrit atau pun budaya Batak yang bersistem patrilineal, tidak lagi menjadi pembatas bagi manusianya. Gender bukanlah sesuatu yang harus dilihat sebagai sebuah pembatasan tetapi kemampuan dan kualitas manusia lebih berperan penting terhadap pandangan kesuksesan. Tidak peduli wanita atau pria, tetapi pedulilah bahwa seseorang yang tidak mampu berubah akan termakan.


Rantai Bumi

Aku… aku bahkan gak tahu apa yang ku tulis. Aku hanya mengikuti kata hati yang terus menyangkal akan segala hal. Dipenuhi dengan segala rasa curiga yang tak kunjung pergi. Aku bahkan tak berani atau bingung untuk mengungkapkan segala hal yang menurutku pantas untuk dipikirkan. Memang aku ini minoritas di balik mayoritas orang yang mengenal ku, ataukah aku terlalu ekslusif untuk menggambarkan siapa diriku didepan mayoritas itu. Aku seperti menyerah dengan apa yang ingin aku ciptakan. Tak punya inspirasi hanya berani mengaku-ngaku tanpa melihat diriku tak mampu. Dibalik apa yang aku pakai apa yang aku cerminkan sebenarnya aku hanya ingin mendapat nilai dan perhatian positif dari mayoritas, mungkin itu yang membuat ku menjadi minoritas. Aku… sebenarnya hanya ingin hidup normal apa adanya tanpa harus mempertahankan gambarku dimata orang lain.

Aku hanya ingin hidup dan menjalaninya dengan biasa tanpa membentuk suatu kasta dan warna sendiri padaku. Tapi apakah semua manusia bisa hidup seperti ini ??? Aku rasa tidak. Semua orang ingin hidup maka dia akan membutuhkan orang lain yang akan mengenal dirinya dengan suatu warna tersendiri. Setiap manusia pasti mempunyai peran di hidupnya. Takkan pernah ada manusia yang tidak berguna. Baik mereka gelandangan, petani, anak kecil, dewasa atau apa sajalah. Mereka saling mempengaruhi. Kalau tidak pada keluarga, teman dekat, atau mungkin orang lain. Sebagai contoh kongkrit seperti

seseorang berjalan dan menginjak rumput. Maka rumput itu pun merendah dan kelak tidak akan termakan oleh kambing. Karena kambing akan memakan rumput yang kiranya agak tinggi, segar dan tebal, sehingga kelak rumput itu akan sembuh dan bereproduksi manggatikan rumput yang telah termakan oleh kambing. Sehingga kambing masih mungkin akan merumput lagi di situ. Ada kalanya kambing itu gemuk dan dijual oleh pemiliknya ke pejagalan. Disana dia akan di potong dan dijual dagingnya. Orang yang membeli dagingnya untuk di makan dan memperoleh energy untuk melanjutkan perannya untuk saling mempengaruhi lagi.”

Kasus ini baru ditinjau dari satu arah, belum dibahas saat kambing itu masih hidup dimana kotorannya yang bau menyebabkan tetangga menjadi kesal dengan empunya kambing sehingga mempengaruhi kehidupan sosial yang empunya. Belum dari uang yang didapat dari pejualan kambing yang digunakan si pemilik untuk memenuhi kebutuhannya dan mulailah siklus uang yang akan terus berputar. Bila kita hubungkan satu sama lain tidak akan ada habisnya hubungan yang terjadi di jagat raya ini.

Hidup terlalu kompleks untuk mencari baik-buruk atau yang lainnya. Mungkin tulisan ini juga akan mempengaruhi kamu tentang pandangan hidup atau malah pandangan dan anggapan kamu tentang si penulis dan kehidupannya.

*^&%#$!@ WASSALAM !#@$#%#^#&*

Selasa, 15 Januari 2008

KEMBANG KEPAGIAN

Disini digelayuti sepi
Semilir angin pagi
Menghempaskan...
Embun daun keladi
Tersusup sinar mentari
Belakang rumah depan sawah
Terduduk di dipan, kelelahan di atasnya
"Aku rasa kami sebaya"
Dia memandang enam puluh derajat
Lalu bermuka segar agak lelah
Aku ikuti pandangannya
Eeemmm.... kuning tampaknya
Ya... dia terpancang
Kembang rumput kuning
Indah pasti ...
Mungkin karna semua hijau....
Kuning diantara hijau
Dia diantara kepagian
Aku diantara mereka
Angin diantara kami
Matahari pun belum mati
Dan kami, masih tetap menjalani hari

no_pie*

perkenankan saya mengetik dan berkeluh kesah disini