Senin, 20 Oktober 2008

“Aku Raja Sastra” “YIN”

Berapa banyak kata yang kamu ucapkan dalam satu hari? Aku yakin lebih dari satu juta. Benarkah? Ya.. itu benar, kalau yang dimaksut adalah kata yang diucapkan bukan cuma lewat mulut saja. Setiap milimeter gerak tubuhmu pun ikut dihitung juga, karena dia juga mewakili kata yang ingin kau sampaikan kepada orang lain. Contoh mudah, ketika kau melangkahkan kakimu setapak demi setapak, kamu tidak perlu berkoar-koar kepada orang disekitarmu “aku sedang berjalan” Karena mereka sudah tahu itu. Ya.. itu lah kata.

Sebenarnya kamu tidur pun sudah membuat tiga kata “aku sedang tidur” itu lah penangkapan orang lain. Lalu, bagaimana mungkin kamu bisa memfatwa seseorang dengan kata “sombong” hanya karena dia tidak menjawab sapaanmu dengan suara dari mulutnya atau lambaian tangannya? Sadarkah kau, dalam diamnya dia berusaha untuk berkata “aku tidak mendengarmu” “aku sedang marah sama kamu” “aku sedang malas ngomong” “aku tidak suka denganmu”. Betapa tumpulnya kepekaanmu kawan, hingga dengan mudah mengeluarkan fatwa “S-O-M-B-UUU-O-NN-G” lihat, ejaanmu saja belum benar. Aku berani taruhan nyawa denganmu kalau kau pasti lebih sering merangkai kata-kata dihati dari pada bersuara. Ternyata kau layak disebut Pengecut. Ternyata kamu adalah orang yang paling “cerewet”. Karena bagiku setiap kata yang kau gumamkan dalam batin juga ikut dihitung. Sekarang percayalah padaku jutaan kata telah kau ucapkan setiap harinya, anehnya kau tidak akan lelah untuk berucap dan berucap lagi.

Aku tidak pernah setuju dengan teori dimana komunikasi itu secara garis besar hanya terdapat dua jenis, yaitu komunikasi verbal (lebih tepatnya harus bersuara) dan non verbal (yang ini bisa membuat kita sehat karena harus berolah raga untuk melakukannya). Lebih setuju aku kalau komunikasi itu dibelah menjadi 3 sama besar. Belahan pertama adalah komunikasi verbal (dapat didengar, tidak dapat dilihat, dan dapat dirasa), komunikasi non verbal (tidak dapat didengar, dapat dilihat, dapat dirasa), komunikasi batin (dapat didengar, dapat dilihat, dapat dirasa) yang satu ini adalah terobosan baru yang barusan dipikirkan oleh Pramoedia Taufik Gazhali, ya.. inilah saatnya aku memperoleh nobel, aku akan mendobrak teori yang ada. Aku akan menggemparkan dunia.

Setiap manusia mempunyai dua sisi, dalam filisofi antah berantah disebut yin dan yang. Kamu akan disebut gila apabila kelebihan yin, karena kamu akan bermain dengan dunia yang diciptakan oleh anganmu sendiri, sering disebut dunia khayalan, tidak perduli dengan psikologi kepribadian dimana kamu mengotakkan seseorang melalui body nya lalu disangkutkan dengan sifatnya, karena kekasihku yang paling seksi didunia adalah sosok yang paling menyebalkan dan ibuku cewek seksi no.1 sedunia adalah sosok yang paling menyejukkan. Kamu juga akan kurus kering dan menderita saat kamu terlalu banyak berhubungan dan bersimpati dengan orang lain, aku sebut ini dengan kelebihan yang. Semua harus diseimbangkan, harmoni, selaras, seperti sebuah irama “ketukan drum ¾, gitar mendawai dengan lembutnya, dan hentakan bas sebagai ketukan dasarnya, lalu melodi mulai mendesak dengan raungan distorsi bernada tinggi, vocal masuk dengan serak dan drum mulai berubah ketukan ½, tempo dinaikkan dua kali lipat, lalu cowok-cowok anggun itu mulai hengkang dari depan panggung.” tetapi semua harus tetap berlanjut dari intro sampa outro. Komunikasi batin ini aku sebut komunikasi personal, tidakkah kamu sadar kadang kamu harus bertengkar keras dengan belenggu pikiranmu, dimana ideal belum tentu benar.

Tertidur

Elegy esok pagi menjadi khayalan sang mentari

Bayu meniup dahan dammar

Pelan perlahan lirih menghentakkan dedaunan

Kusam hitam kelam

Ranting kering bergesek nyarinng

Lalu menghempaskanku menuju suarga loka

Aku tidak suka dengan puisimu yang ini, puisi sampah yang tak lebih hanya deretan kata-kata yang jarang didengar oleh kupingku. Ya.. rangkaian kata-kata indah, tapi tanpa makna. Kau tahu kawan, hambar rasanya. Cobalah tengok yang satu ini

Sabar Seorang Pelacur

Mendung berujung murung

Takala tangisan itu mulai meraung

Air bah telah turun gunung

Mendung berujung murung

Panas terasa dingin

Takala anak itu mulai ingin

Sedekah sudah tak mungkin

Panas terasa dingin

Neraka nikmat surga

Takala mulut itu mulai menganga

Ah… hasrat menghianatinya

Neraka nikmat surga

Sabar seorang pelacur

Takala bencana itu mulai terlanjur

Biar hati, agama, vagina hancur

Sabar seorang pelacur

Telah kuciptakan masterpiece yang indahnya tiada dua didunia, melebihi indahnya suasana sore ditepi pantai dengan langit biru lalu kekuning lebih kebawah oranye turun sedikit kemerah-merahan dan sang surya mulai mengantuk, betapa narsisnya dia yang selalu berkaca kepada samudra. Lihat saja komposisi rima disetiap baitnya, indah bukan? Aku dapat bercerita disetiap kata mengenai pedihnya kehidupan. Terdapat irama didalamnya. Aku dapat mendengar, melihat, dan berkata apa yang kamu dengar, lihat dan ucapkan, tapi sanyangnya kamu bertingkah cacat.

Jadi, kalau kau katakan tulisanku ini meloncat-lontat biarlah. Karena aku adalah jeruk, jangan pernah menelanku bulat-bulat. Kupas dulu kulitku, lalu hilangkan serabut yang membalut dalamanku lalu kau akan mempeoleh kejutan didalamnya entah itu masam ataupun manis. Kadang aku menempuh jalan penuh bebatuan lalu naik turun gunung hanya untuk ketempatmu yang sebenarnya berjarak satu lemparan batu saja. Tetapi tak apa, karena aku ingin melihat pemandangan yang indah terlebih dahulu dan aku akan bercerita padamu mengenai indahnya. Aku juga bisa terbang dan menghilang, bersinku bahkan menggetarkan bumi. Bunga mawar yang mekar dihalaman rumahmu sangat indah tapi itu bukan aku. Bukan sekedar bunga yang indah tetapi tak semerbak. Indah semerbak harum dan mewangi, mungkin aku melati. Banyanganmu adalah tubuhku, tubuhmu adalah bayanganku, kakiku adalah matamu, pacarku adalah pacarku. Ya.. tak jelas, rumit, pusing, membingungkan. Tapi semua yang aku lakukan adalah tentang kamu.

Perkenalkan aku adalah raja sastra. Bila kau bertanya padaku apakah sastra itu? Aku telah menjawabnya dengan panjang lebar. sastra adalah aku. Aku yang bermain dengan perasaan, aku yang seorang pemikir, aku yang memperoleh nobel, aku yang penghayal, aku yang iri dengki, aku yang narsis. Sastra adalah kebebasan, kebebasan yang menyentuh perasaan, maka dari itu dia indah. Sastralah yang membuatku ingin mengetik “lsabjfirwuefrnsf17363//.;urduffffffhgjjaqwtyiookppmmnbvvcxzdw3568jbbmmcxzasddghgjhkjlklpoiuyyttreewq” untuk menggambarkannya. Tanpa disadari aku telah larut didalamnya hingga aku jadi seorang manusia hina yang merasa paling benar sedunia.

Masih igatkah kamu akan keseimbangan? Ternyata aku memiliki yin yang berlebih. Hingga akhirnya aku menempati rumah yang penuh dengan orang-orang jujur nian merdeka.

SELESAI

Harnono Taufik (lalu bagaimana aku dapat menghakimi suatu karya sastra??) Klaten, 04 Oktober 2008, 02:06 AM.

Pengantin

Melangkah aku di atas karpet merah yang bertaburan kembang melati, ku injak satu kaki, arrrgggghhh…!!! perihnya terasa dari kaki menuju hati, ya… disitulah penyakit itu bermuara. Tapi langkahku tak gontai maupun layu, aku mencoba untuk melangkah tegap dan tetap menuju kursi merah. Kursi yang pastinya mengharuskan aku bersikap manis didepan ratusan orang tiga jam kedepan, akulah selebriti yang keindahannya dikagumi mereka, maka disitu sebenarnya aku sudah mati, sehingga tak terbayangkan lagi betapa bencinya aku pada kursi itu.

Tapi ratusan mata menatap alur jalanku, “anggun” kata mereka dengan matanya. Langkahku yang sempit terhimpit helaian kain yang menjepit, sepuluh sama dengan tiga puluh bahkan bisa lebih, kalau kurang aku rasa tidak. Kenapa aku harus begitu tersiksa hanya untuk sampai disana.

Aku adalah orang yang tercela. Seorang mantan istri yang penuh dosa. Tiba-tiba suasana semakin muram, perasaan apa ini? Kenapa semuanya gelap. Ataukah aku hanya berkhayal? Belum cukupkah sepasang mata yang sarat akan dendam, sesal, pedih, dan kecewa itu memandangku. Sudah-sudahlah, hentikanlah, cara pandangmu yang seperti itu, bisa meledakkan hatiku. Ya.. aku mengaku bersalah, telah menghianatimu malam itu. Ah… sungguh beratnya beban ini, hingga dia menghantuiku.

Malam dimana seharusnya aku serahkan bunga kebanggaan wanita kepada seorang yang aku cintai dan tentulah halal bagiku untuk membiarkanmu meraba seluruh lekuk batangnya yang eksotik, berselancar dihalusnya daun cekung lumayan kenyal menggelembung, mencium harumnya, sehingga pada akhirnya kamu dapat mencicipi manisnya madu diantara hangatnya bungaku.

Sudah-sudah, aku bayangkan itu tiga tahun yang lalu, sejak pertama kali kau bilang “Boleh kenalan g’? Junod.” Dengan sigapnya kau merayuku ditengah kerumunan orang dipasar malam. Semakin mendekat dan merapat, hah… kamu igin mengambil hatiku. Sudah terpampang jelas susunan huruf itu, lewat kode-kode morse yang kau tunjukan saat kau mulai berkeliaran disekitarku. Tapi aku bukanlah manusia yang mudah untuk telanjang, aku selalu ingin menutup segala yang kau anggap menarik. Kau harus memujaku sebelum kuserahkan apa yang menjadi inginmu.

Aku bagaikan kepompong yang lama kelamaan pun akan rapuh, tak sanggup lagi menahan keindahan cinta yang mulai kau tumbuhkan didalam diriku.

Waktu itu sore dipantai, aku sedang duduk menyendiri menikmati sinar matahari yang sudah mulai bersembunyi di perujungan cakrawala, kamu meninggalkan temanmu lalu menghampiriku dan bertanya “maryani pernah bercinta g’?”

Tersentak aku mendengar pertanyaan aneh darimu, pertanyaan yang seolah-olah mengartikan bahwa aku ini seorang wanita jalang, agak marah aku katakan “nanyanya kok aneh-aneh sih? Ya enggak lah.”

Senyum kecilmu itu tergores sejenak sebelum kau berpaling dari ku menatap menuju matahari kau mulai berkata “aku ingin bercinta denganmu.” Lalu kau tatap wajahku yang sedang bermimik aneh dan bertanya-tanya, kenapa kamu bisa berkata selancang itu kepada wanita baik-baik sepertiku

“kamu gila ya?” tanyaku,

“aku ingin bercinta denganmu setelah menikah, tiga tahun kedepan, untuk sekarang kamu jadi pacarku aja dulu.” Katanya datar, seakan-akan dia yakin bahwa aku pasti akan jadi miliknya.

Aku yang masih terkaget tiba-tiba merasakan tangannya menggenggam erat tanganku, lalu diciumnya keningku, tak lagi aku berdaya dihadapannya, sudahlah tak usah lagi aku berbohong, inilah yang aku inginkan dan kini aku telah dapatkan.

Kau adalah sebongkah daging yang bertulang, mempunyai jiwa yang penuh arsa. Arsa… suatu kata asing yang bagiku, ini melambangkan kesatuan yang harmonis antara manusia dengan malaikat impian yang tersembunyi didalam mimpi setiap wanita, akan dambaan kesempurnaan hati dan perbuatan pria terhadapnya. Tak terbayangkan lagi, betapa beruntungnya aku mendapatkan seorang malaikat yang menjelma dalam raga sepertimu yang sebentar lagi menjadi suamiku.

Aku tahu benar sayang, menjadi pengantin itu masalah mudah. Susah adalah bagaimana kita bisa menikah setiap hari, karena aku selalu ingin jatuh cinta padamu setiap pagi dan kita menikmati hari yang penuh cinta sampai tua, bahkan kalau bisa sampai di surga pun kita tetap sebagai suami istri. Sayang, itulah impianku sebelum kita menikah hari itu.

Aku adalah orang yang tercela, seorang mantan istri yang penuh dosa. Ya.. aku mengaku bersalah, telah menghianatimu malam itu. Malam dimana seharusnya aku serahkan bunga kebanggaan wanita kepada seorang yang aku cintai dan tentulah halal bagiku untuk membiarkanmu meraba seluruh lekuk batangnya yang eksotik, berselancar dihalusnya daun cekung yang lumayan kenyal menggelembung, mencium harumnya, sehingga pada akhirnya kamu dapat mencicipi manisnya madu didalam hangatnya bungaku. Sudah-sudah, aku bayangkan itu tiga hari yang lalu.

Kurebahkan tubuh ini di kasur yang dibalut sprei merah marun bermotifkan bunga melati putih. Memang tak ada lampu yang menyala dikamar ini, hanya lilin-lilin itu, berkelik menyala meremangkan cahaya, menebarkan harumnya lavender sebagai aroma terapinya. Kamu belum juga datang, teganya kau membiarkan ku tersiksa dalam romansa cinta yang sudah bercampur dengan nafsu, hingga aku tak tahu lagi perasaan apa ini? Hampir tak ada garis yang membatasi hitam dan putihnya, semuanya abu-abu, samar, tak jelas, memabukkan.

Sekelebat bayangan melintas di jendela depan kamar, pikirku, sudah tentu itu dirimu. Jantungku mulai berdebar keras saat gerenyit bunyi pintu itu mulai terdegar. Sudah banyak sekali gambaran-gambaran erotis yang menjijikkan itu muncul. Tapi aneh… sekarang aku tak lagi merasa jijik, bahkan sangat amat ingin sekali aku merasakannya. Aku mulai tidur miring membelakangi pintu, berharap muka mesumku tak tampak olehmu. Bulu kuduku mulai berdiri dan api ini telah berkobar menyala-nyala seiring bunyi langkahmu yang semakin mendekat. Selamat datang sayang, sudah waktunya kita melanyang menuju nikmatnya senggama.

Perlahan tanganmu menyetuh punggungku dengan lembut. Tak tahan lagi aku menghambat birahi ini. Aku mulai memalingkan tubuhku, tanganku merangkul punggungnya, dengan lembut kutarik bayangan hitam itu mendekat kewajahku. Terasa sedikit meronta dia, mungkin tak menyangka bahwa aku akan seagresif ini. Kupejamkan mataku, mencoba merasakan gejolak ini. Lalu bibir kami saling bertumbukan. Perlahan dia sudah tak meronta lagi dan mulai berusaha untuk mengimbangi. Tanpa aku sadari bibirku sudah pintar sendiri untuk bisa mengetahui gerakan apa yang harus dilakukan disaat seperti ini. Rasaya empuk, lembut, seperti tersedot dengan halus.

Nafas dan seluruh tubuhku terhenti saat aku membuka mata. Terlihat wajah yang sangat familiar, wajah yang hitam samar sebagian, tapi cukup jelas sebagiannya lagi tersapu oleh sinar lilin. Bukan… wajah itu!! Lalu kutarik bibirku.

“ma.. mas” kataku tertahan.

Dia hanya diam tanpa menjawab, hanya mata kami yang saling berpandangan, mata yang dibutakan oleh nafsu. Logika kami mati, rasa kami sudah sehati, tubuh kami terlanjur menikmati, hasrat kami sudah tinggi, kami sudah tak sanggup lagi berenang menepi, kami sudah tenggelam.

“pak.. wong.. diluar banyak tamu kok malah ditinggal santai-santai dikamar,” membuka pintu sambil berjalan menghampiri suaminya, laki-laki setengah abad yang sedang duduk di kursi goyang usang kesanyangannya sambil menghisap rokok. Masih mengenakan celana kain dan bersepatu rapih tetapi cuma memakai singlet sebagai atasannya.

“bentar lah buk.. ni encokku kumat, tak istirahat dulu. Biar di luar diurus sama si Eko dulu.” Sahutnya sambil sedikit membenahi posisi duduknya. Lalu menggeleng keenakan setelah mendapatkan pijitan di bahunya oleh sang istri. Keduanya mendadak terhenti dari aktifitasnya lalu mencondongkan telinganya agak ke kanan, ke arah kamar sebelah yang dibatasi oleh tembok, mencoba mendengarkan dengan seksama. Ternyata disaat itu sayup terdengar suara seorang perempuan menjerit. Keduanya berpandangan lalu tersenyum geli.

Si istri menepuk punggung suaminya “gak capek apa ya pak? habis balik dari gedung pernikahan kok malemnya langsung….?” Katanya sambil cengar-cegir.

“halah.. ibu dulu juga gitu kok. Malah baru dua jam setelah nikah langsung gajak bapak teettot..teetoot!!! capekan mana hayoo?” timpal sang suami.

“si Eko itu lho pak, coba dinasehatin, suruh nyusul adeknya juga. Tar keburu tua lho pak” terselip kehawatiran seorang ibu kepada anak yang satunya.

“Eko itu orangnya berprinsip dan susah diatur, sudah… biarkan saja dia, barangkali masih pengen bebas. Umurnya kan juga baru 26 tahun, masih muda itu untuk ukuran laki-laki” Mematikan rokoknya lalu berdiri menuju gantungan baju, sementara istrinya beralih duduk ditepi tempat tidur.

“iya pak.. tapi Eko itu kan sudah kerja, punya rumah sendiri walaupun masih kredit, hitungannya dia sudah mapan pak. masa iya sih gak ada gadis yang nyantol sama dia?”

Sang suami berjalan menghampiri istrinya sambil mengenakan baju batik coklat, duduk disampingnya lalu berkata “nah.. itu bedanya Eko sama Arjuno. Eko yang sudah mapan aja masih mikir-mikir kok kalau mau kawin. Eh.. adhine sing lagi 24 tahun wae kok wis ngebet, padahal belum keja, mau dikasih makan apa Yani dan anak-anaknya nanti?” menggelengkan kepala lalu berdiri dan berjalan menggambil asbak di meja dekat kursi goyang.

Sang istri hanya melihatnya “nah… kan ada Eko, biar Junod ikut kerja masnya dulu pasti diterima, dia kan mandor proyek”

“ibu itu kaya gak ngerti Junod aja, dia itu udah ngerasa pinter, lulus kuliah IP 3 koma, mana mau dia kerja kasar,” kekecewaan si suami terlihat jelas melihat si bungsu yang paling dibanggakan kepintarannya itu belum juga berhasil mendapatkan pekerjaan.

Selagi mereka berdua sibuk menilik anaknya, pintu kamar ada yang mengetuk. Lalu masuklah Junod. Suami istri itu pun keheranan, melihat anaknya masih berjas rapih, tak ada tanda keringat sedikit pun. Junod tertegun ikut mengerutkan dahi saat dilihatnya kedua orangtua itu memandanginya dengan aneh. Lalu sang suami mulai berubah merah menyala, dia menjatuhkan asbak yang sedang digenggamnya kelantai, beranjak cepat keluar kamar diikuti istri dan anaknya.

“blak….” Suara pintu kamar terdobrak membahana dengan kerasnya. Sosok bayangan yang berada diatas kasur itu sontak meloncat. Yang satu berdiri ditepian kasur lalu meraih pakaian, diseretnya menutupi kemaluan. Sedangkan sosok yang satu lagi bangkit dari tidurnya mendendeng selimut dari dada kebawah. Keduanya berkeringat, mukanya merah padam, matanya panic, badanya pun gemetar. Tertusuk oleh sorotan mata itu.

Sosok tua yang berada dipintu hanya berdiri diam, tetapi matanya telah berlari menusuk mereka sangat dalam. Berbeda dengan sosok muda yang barusan datang dari belakang. Sosok itu langsung masuk kedalam lalu terhenti tepat setelah dia berhasil melihat wajah dua bayangan tadi.

“ya Allah… Eko…!! Yani..!!” sang istri berteriak sebelum keempat sosok itu sempat bergerak. Suara itu tidak begitu kencang, tetapi cukup untuk mengundang para tamu dan rewang untuk datang. Lalu wanita itu pun tumbang, menimpa suaminya yang berdiri ditengah pintu. Junod juga berpaling menuju sang ibu.

Eko dengan sigap mengenakan pakaian lalu berlari mendekat, “pergi kalian dari sini, haram hukumnya mendekat” sentak Junod kepada kakak dan istrinya, ternyata dalam kepanikan menolong ibunya pikirannya masih belum lepas dari kejadian barusan.

Eko dan yani hanya bisa bersalah terdiam. Tak berdaya lagi mereka mengeluarkan pembelaan. Yani berlari keluar saat terdengar suara orang-orang yang mulai berdatangan. Eko dengan bimbang akhirnya mengejar Yani, sekaligus guna menutupi rasa malu dia.

Waaaaaaaa….. setan apa yang telah merasukiku tadi? Penyesalan itu hinggap sekejap dikepala. “Yani..!! berhenti!” aku berteriak saat melihat Yani berlari menerobos melawan arus kerumunan yang mulai bergerak menuju kamar dosa kami.

Mereka menatap Yani dan aku dengan heran, mencoba mencerna dan mengira kejadian apa yang terjadi barusan. Apalagi melihat yani yang hanya berbalut selimut dan aku telanjang badan. Tidak mungkin kalau hanya main kejar-kejaran, orang bodoh pun tahu itu. Orang-orang itu sebagian mulai berbalik arah mengikutiku dan yani.

Langkahku terhenti didepan rumah, saat tak aku dapati jejak Yani. Menghilang kemana dia? Kekuatan apa yang membuat gadis lemah gemulai seperti dia bisa berlari secepat itu? Lemah.. jangan-jangan…? Astaga.. Yani!! Sekarang aku tahu dimana dia, ternyata dia masih lemah. Otak tengahku memberi siyal intuisi yang kuat. Tak ada keraguan lagi aku segera berlari menuju kesana.

“Eko! Arep nangendi” Baru tiga langkah aku berlari Pakde meneriakiku.

Menengok kebelakang sebentar “Yani arep bunuh diri” lalu aku melanjutkan langkahku, aku takut sekali kehabisan waktu. Sempat terdengar juga banyak langkah dibelakang mengikutiku.

Aku mulai berpikir ditegah pelarianku, apa yang harus ku katakan untuk membujuk Yani? Apakah harus kujelaskan bahwa sebenarnya aku masuk kamar mencari Junod meminta Hand Phoneku yang dipinjamnya, tapi yang kutemui hanya dirimu yang sedang berbaring, lalu aku berniat bertanya padamu, tapi kau tiba-tiba saja menarikku dan menciumku. Mulanaya masih meronta aku mencoba mengembalikan kewarasan, tapi tak tahu kenapa tatapan matamu menarikku kedalam. Tapi bukankah itu berarti menyudutkanmu, ah…. Tidak aku tidak akan mengatakannya. Lalu apa yang harus aku katakan?

Belum sempat aku menemukan alasan yang tepat, ternyata aku sudah sampai di Kretek Abang. Tak sempat terpikir olehku sejak kapan aku bisa berlari 1 kilo tanpa berhenti, bahkan tanpa melihat jalan, pikiranku terlalu kalut. Aku pandangi sekeliling mencoba mencari sosok tapi tak jua ku dapat. Pikiranku mulai sibuk, perasaanku mendadak buruk. Segera saja kutengok sugai dibawah lewat tepi jembatan. Mataku terbelalak melihat air yang tenang karena kedalamannya mulai bergemercik bergelombang. Sosok itu terlihat meronta timbul tenggelam. Mata kami sempat bertumbukkan, walaupun hanya dua detik. Tapi sangat jelas pesan tentang gairah hidup, tangisan penyesalan, ketakutan kematian, rengekan pertolongan. Semua itu tersampaikan padaku. Tanpa berpikir panjang lagi meloncatlah aku. Aku berhasil merangkul tubuhnya, lalu menyeretnya ke tepi.

Aku belum pernah melihat yang seperti ini, wajah itu tampak putih pucat, tubuh itu gugup, masih terbatuk-batuk dia mengeluarkan cairan yang terpaksa masuk kedalam tubuhnya. Sepertinya dia ketakutan dengan sesuatu. Mungkin dia telah melihat kilasan dosa selama hidupnya. Mungkin tangan si jibril tinggal satu jengkal lagi diatas kepalanya. Mungkin dia hendak berlari kembali setelah sampai di batas hidup dan mati. Mungkin dia menyesal setelah hasat menuju akhir harus berakhir dengan ketakutan.

Lalu dia menatapku dan menangis. Apa yang bisa aku lakukan, selain memeluknya dan menyediakan perlindungan bagi jiwa yang terguncang itu.

“Aku akan.. Menikahimu.” Entah kenapa aku merasa perlu mengucapkan kalimat ini. Mungkin kalimat ini dapat menjawab sedikit kegundahannya. Aku pun juga berjanji akan menggelar resepsi pernikahan di kota tempatku bekerja, jauh dari sini. Hanya mencoba meyakinkannya, bahwa aku tidak akan membedakan dan ku berikan semua kebahagiaan yang aku dapatkan.

Dia menatapku dengan heran, ku rasa dia sudah tersadar. “Tapi bagai mana mungkin?” ucap dia dengan ragu.

“Dengar.. kita tidak akan pernah bisa hidup sebagai orang baik lagi disini. Dan aku pun harus bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan.”

“tapi.. Junod?” masih juga dia memikirkan cintanya.

“Aku.. tahu kamu mencintai Junod, tapi apa yang bisa kita katakan untuk mendapat maafnya, dia adikku dan aku tahu dia itu bukan orang pemaaf.” Sudah ku tetapkan bahwa aku akan bertanggung jawab atas semua ke tidak warasanku, terhadap Junod, keluarga, dan orang-orang desa yang mengaku bersahaja itu.

“Lalu, kenapa kamu bisa masuk ke kamar kami?” dia memulai pertanyaan yang dari tadi belum juga aku temukan yang tepat bagi dia.

“mas.. Eko!” cubitannya menggugah aku dari keadaan bingung.

“Sebenarnya aku suka kamu” hanya alasan palsu ini yang terlintas di benakku, entah sepertinya aku terlalu banyak menonton TV, hingga alasanku terkesan munafik dan dramatis. Yani menatapku dengan terkejut, seakan aku sudah berniat jahat terhadapnya jauh sebelum malam pengantinnya.

“plak…” dia menamparku, sekarang aku menjadi orang yang paling busuk dalam kejadian ini. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia meronta. “Yani… tolong berhenti, aku akan bertanggung jawab !”.

Dia berhenti dari rontaannya, pandangannya sinis terhadapku “ternyata mas egois, tega menghancurkan hidup kami hanya demi cinta mas sendiri, lebih baik aku dibiarkan mati dari pada harus hidup seperti ini” dia berbicara seolah-olah kematian adalah jalan paling mudah dalam menyelesaikan masalah.

“baiklah, silahkan mati, tapi jangan melihatku lagi.” Yani tertegun mendengar perkataan dari ku, dia tidak cukup bodoh untuk menyesal dua kali. Tetapi dia juga bukan perempuan lugu dengan mudahnya bisa dirayu.

Akhirnya aku memang perlu untuk jujur saja padanya. Rasanya semakin sulit saja posisiku dimatanya kalau aku terus berbohong. Apalah arti kehidupan kalau tidak bisa bangkit dari permasalahan.

Lihat saja dua manusia yang sedang berduka di pinggiran kali di malam hari di antara rimbunan rumput Teki. Sang perempuan dengan wajah malu dan bersalah hanya bisa bersembunyi di ketiak sang laki-laki yang agaknya lebih tegar dalam menghadapi masalah. Lalu keduanya kaget saat seseorang yang biasa mereka panggil Pakde memergoki mereka.

Pakde adalah tokoh penengah dalam peristiwa yang memilukan ini. Pakde lah yang menyampaikan surat dari Maryani kepada Junod, surat yang dibuat dalam waktu 15 menit saja

“Tolong jangan salahkan seorang istri yang menghabiskan malam pertamanya dengan kakak dari suami sendiri didalam kamar pengantin kami. Salahkan saja tuhan yang mengkaruniai kami nafsu dan kerapuhan hati untuk bisa menolak rayuan kenikmatannya. Salahkan saja mas Junod, suamiku yang tak kunjung datang berperang. Maaf mas Junod.. aku bagaikan kepompong yang lama kelamaan pun akan rapuh, tak sanggup lagi menahan hasrat kenikmatan yang mulai berkobar didalam diriku, maafkan istri dan kakakmu yang hina ini.”

Membaca surat ini aku rasa Maryani dan Eko adalah manusia yang sangat menyedihkan. Mereka menyalahkan tuhan disaat tidak ada lagi pembelaan. Apakah tuhan muara kesalahan.

Pakde juga mengutarakan permohonan cerai dari Maryani. Tentu saja Junod yang masih buta itu pun mengabulkannya. Pakde juga mengatakan niat Maryani dan Eko yang akan meninggalkan desa ini menikah dan hidup bersama entah dimana kepada orang tuanya. Tentu saja mereka yang masih buta itu pun mengabulkannya. Lalu Pakde mengambil barang Maryani dan Junod.

Malam itu juga Pakde berpisah dengan mereka diterminal. Demi nama baik keluarga, itu saja sudah cukup alasan bagi Pakde untuk melakukan semua itu.