Jumat, 14 November 2008

Militerisasi Melankolis

Ayahku mati hari ini. Pertama kali aku mendengar berita ini, sudah pasti tidak usah ku ceritakan bagaimana perasaanku, aku yakin kalian sudah tahu. Lalu apa yang kalian dapat lakukan? Selain hanya empati dan kata peghibur. Tapi itu jauh lebih baik daripada hanya menatapku diam, seolah aku pegemis yang butuh belas kasihan.
Tujuh hari setelah ayahku pergi aku harus kembali. Kembali ke dunia nyata setelah sekian lama terpuruk dalam perasaan kelam menghujam hati yang karam dan raut muka muram. Menimbang kembali kehidupan dalam rangkaian pertimbangan kemampuan, pendidikan dan tentu saja masa depan. Kesadaran bahwa sudah tidak ada lagi sandaran memaksa kami mengkarbit diri. Mau tak mau harus mau. Sebuah militerisasi yang melankolis.

Lebaran ini adik cantikku tidak mendapat baju baru. Dia mendapat sepeda baru, sepeda itu kelak menghantarkannya kepada komplek perumahan mewah seluas 10.000 m2, dengan jalannya yang berliku dengan panjang lintasan 6 km. Dia mulai belajar bangun lebih pagi, tepatnya dua jam dari biasanya. 15 menit mengumpulkann nyawa, 30 menit mengambil Koran, kasih setoran, menghitung dan menumpuk Koran lalu berangkat ke komplek. 1 jam memutari komplek dengan 58 rumah, setiap pemberhentian membutuhkan waktu 30 detik berarti dia harus bersepeda dengan kecepatan 12 km/jam dan masih mempunyai tenggat waktu 1 menit buat hal-hal yang tak terduga. Sesekali dia mengeluh, kadang juga mengaduh karena kakinya terasa lumpuh, kaki kecil yang sudah 8 tahun menompang tubuhnya selalu ku gerayangi tiap malam, dengan sedikit tekanan lalu dia menggeliat sakit keenakan. Lalu dia tersenyum saat aku perbolehkan jajan dengan duit sabtu minggunya. Kenapa harus aku melarang? Toh dia bisa membayar duit sekolahnya dengan hasil keringat senin-jumatnya. Masa kecilnya telah terenggut saat dia berdiri menantang hidup. Hanya saat diantara aku dan ibuku saja dia menjadi kecil.

Lalu ibuku, dia berubah menjadi monster. Sekujur tubuhnya penuh lendir. Tangan dan kakinya mulai menggelembung, ada semacam tali-temali yang mengurat mengikat erat tangan dan kakinya yang semakin berat supaya tak lepas dari tubuhnya. Rambutnya bersinar terang benderang di kegelapan hampir seperti nabi yang mendapat wahyu dari Yang Kuasa. Dia mempunyai senjata keramat yang diberi nama “keranjang sabit”. Seperti layaknya benda keramat, pasti ada ritual khusus dalam merawatnya. Ritual yang sering dilakukan ibuku adalah mengeluarkannya setiap pagi dan sore hari, lalu membawanya kesebuah padang hijau kemudian berlatih ilmu pencak silat, saking hebatnya padang hijau itu sampai rata dengan tanah di beberapa tempat, hal terakhir yang dilakukannya adalah bergumul dengan kendaraan Dewa Siwa. Betapa manjanya “keranjang sabit” meminta ritual itu setiap hari. Vaginanya kadang menjadi penis kadang jadi vagina lagi lalu menjadi penis lagi, pokoknya sudah tak pasti bentuknya. Yang pasti adalah kelaminnya sudah tidak mempunyai lubang senggama. Seandainya duda-duda itu tahu pasti hengkang lari tunggang langgang. Tapi anehnya bentuk ibuku yang mengerikan itu malah menjadi daya tarik tersendiri. Entahlah selera orang-orang tua memang buruk.

Apa yang aku lakukan memang sebuah keharusan, saat aku harus belajar bekerja keras demi menghidupi aku dan khayalanku. Aku menjadi dewasa, bertanggung jawab, mandiri, dan penuh pertimbangan. Tapi aku sangat bersyukur atas semua itu. Dan hanya ada satu doa yang rajin kupanjatkan setiap beribadah, begini bunyi igauan doaku “Tuhan bunuhlah seluruh orang tua yang ada dimuka bumi ini, kalau tidak lumpuhkan saja kaki dan tangan mereka, butakan matanya, bisukan mulutnya, tulikan kupingnya. Amin.”

Harnono Taufik (mengapa harus menunggu dewasa hanya untuk menjadi dewasa) Yogya 9 November 2008 ; 15.53 PM.