Minggu, 01 November 2009

dia opie si pemikir

Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran seorang yang menganggap dirinya pemikir. Semalam, waktu aku duduk di singgasana, menikmati apa yang seharusnya dinikmati, dia menggangu. Tak banyak basa-basi, dia mengebulkan asapnya.

“kau tahu apa yang kudapat selama ini dari pengumulanku dengan para penggiat itu?”
Aku melongo, astaga orang ini sudah gila.

“mereka duduk menghabiskan rokoknya. Lalu membersihkan garam dilaut seharian. Lalu mulai muncul keraguan, titik jenuh, keputus asaan. Mereka duduk menghabiskan rokoknya. lalu kembali ke laut. Mungkin untuk menggarami. Mungkin untuk membersihkan garam. Mungkin juga mereka pindah ke gunung. Menegakkan akar rumput yang mulai goyah tertiup angin atau terinjak kambing. Lalu mereka lelah, terlalu banyak akar rumput yang goyah. Mereka kembali duduk menghabiskan rokoknya”

Ku hembuskan asap panjang-pajang. Mataku masih menikmati lampu-lampu jalan. Hatiku tetap untuk dia. Pikiran dan kupingku, bertekuk lutut dihadapan orang gila satu ini. Garam, laut, rumput, hutan, membersihkan, goyah, terinjak. Semiotika apa yang orang ini mainkan?

Orang yang menganggap dirinya pemikir itu melanjutkan “segenap jiwa raga ini, tak bisa menerima pemikiran yang semacam itu. Aku mengabdi secara murni kepada kesempurnaan. Terkadang aku tak…”

“cukup” kataku memotong. Sambil berbenah diri bersiap pergi aku melanjukan “kau dan orang-orang sejenismu yang mengabdi kepada kesempurnaan, tidak akan mendapatkan secuilpun dari kesempurnaan itu. Kalian adalah orang-orang rapuh dan terlalu terbuka. Kalau mereka membutuhkan satu batang rokok, maka kau perlu hidup abadi untuk menemukan itu. Tanah, berpijaklah ke tanah kawan, bukan di awan” aku berjalan meninggalkannya. Aku sedang tak ingin mendengarkan seseorang yang berbicara kepada dirinya sendiri. Aku membutuhkan kenyataan sekarang.

Motorku melaju ditengah kesepian jalan, entah darimana datangnya. Ada keinginanku untuk berdiri dipihak orang-orang yang terpinggirkan. Maksudku adalah : orang-orang yang dianggap dan diakui banyak orang memiliki ciri fisik yang tak menarik jelek istilah mereka. Mereka pasti kesepian. Terdapat ketidak adilan disana. Mereka, orang jelek itu, selalu disingkirkan, seringkali dihinakan. Gendut, kurus, pesek, mrongos, hitam, ndower. Ada apa dengan orang-orang seperti ini. Kenapa banyak dari mereka dihukum seumur hidup untuk tidak memiliki pacar? Bahkan pasangan hidup. Seperti budak yang harus berpasangan dengan budak, raja berpasangan dengan raja. Mereka memperpanjang status mereka, memperbanyak keturunan yang jelek. Meninggikan keturunan yang unggul. Kalaupun ada orang “jelek” mendapatan yang cantik/ganteng, pastilah orang “jelek” itu seorang bangsawan, konglomerat. Mereka secara tidak sadar telah melestarikan feodalisme nan diskriminatif.

Cantik/ganteng itu relative, tapi jelek itu mutlak. Kenapa kata jelek cuma ada satu? Kenapa kata genteng dan cantik ada dua? Kenapa ganteng dan cantik di spesialkan? Kalau digabung entah apa sebutan untuk lawan kata dari jelek, baguskah? Menarikkah? Anjing.. terkutuklah orang-orang yang masih memiliki pemikiran seperti ini. Terkutuklah aku, yang secara sadar/tidak sadar juga menilai seseorang dari fisiknya. Wahai Tv, Koran, Spanduk, Baliho, Pamphlet atau apapun lah, terkutuk juga kau. Kalian orang-orang “jelek” haruslah siap untuk melapangkan dada, menutup telinga, membutakan mata. Kalau kau tidak siap, maka kau hanya akan bunuh diri. Aku secara jujur bersimpati terhadap apa yang kita derita, penghinaan seumur hidup. Cobalah menghilangkan belenggu yang mengakui diri sendiri sebagai “jelek” jadilah dirimu sendiri, lakukan apa yang kau anggap benar dan menyenangkan. Kita, jangan pernah mendengarkan/merasai/mencoba beropini tentang bahasa tubuh orang lain saat dia berada disekitarmu. Kita semua (jelek, dan tidak jelek) hanya manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Hahaha.. normative sekali sih aku nie.. ah sudah lah.

Malam ini, sedari tadi aku selalu berpikir tentang dia. Aku ingin kepantai, aku sedang ingin membayangkan kami duduk bersama dipinggir pantai. Di atas karang itu kami duduk. Lalu berbincang, emm.. mungkin tentang suasana. Ya.. betapa senangnya aku bisa mengungkapkan bahwa suara ombak ini adalah teman setia bagi siapa saja. Bergemuruh ramai, mengusir kesepian di hati orang-orang murung. Seakan kita tidak sendirian, ada ombak yang selalu ramai, riang gembira menemani kita. Anginnya yang berhembus kencang, menyejukkan. Seakan menghempaskan gelisah. Dia, angin itu, ah.. menenangkanku. Bintang dan Bulan nampak lebih berpendar diantara kegelapan, indah pokoknya. Ada yang berkedip, ada yang tenang, ada yang terang, ada yang redup. Disini, dipantai saat malam hari, dia bisa menutup mata dan menikmati suranya. Angin dan ombak itu. Atau seandainya dia membuka mata, dia masih bisa menikmati bintang dan bulannya.
Atau kami juga bisa menyingkirkan semua itu. Kami bisa tenggelam dalam curahan perasaan. Aku akan sangat suka mendengarkan dia bercerita tentang apa saja. Emm.. mungkin tentang perasaan sayang sekaligus iba juga hormat juga kekaguman terhadap ibunya. Atau juga kesusahan yang dia tanggungkan. Karena jujur saja aku penasaran, apa hal yang bergejolak dalam diri seorang perempuan yang ditinggal mati oleh ayahnya sejak umur 15 tahun? Tapi aku tak mungkin menanyakan hal itu. Tapi aku takkan malu untuk menangis sejadi-jadinya. Deritanya, jauh lebih menyusahkanku daripada deritaku sendiri. Yang aku inginkan adalah, disana kami berhenti berpura-pura menjadi orang yang hebat dan tegar. Disana kami menjadi orang yang rapuh serapuh-rapuhnya. Seakan kami tak bisa berdiri lagi kalau tak saling menopang. Kami saling membutuhkan.
Dipasir itu, kami bisa menari seheboh-hebohnya. Tak perlu menjadi orang dewasa lagi. Kami manusia segala usia disana. Kami adalah seorang penghibur jalanan. Kami buat api unggun disana.

“fire.. fire..” kataku berteriak, menirukan adegan dalam film Cast Away. Lalu kami berjingkrak sambil memutari api itu, seolah kami ini adalah sebuah suku yang sedang mengadakan perayaan. Ya, kami memang meryakan kebebasan. Hahaha.

Napasku tersengal, aku berhenti ,capek. Tapi dia masih saja asik merayakan kebebasan. Ah.. betapa cantiknya kau wahai wanita yang terbebas dari belenggu. Tiba-tiba dia berhenti, menengok kepadaku dengan cemberut.

“topeng.. monyet..” teriakku lagi, menirukan seorang MC. Segera ku ikuti suara gendang khas topeng monyet “tung tak tung//tung tak tung dung/tung tak tung//tung tak tung dung/…”

Dia menaruh tangan kanannya diatas kepala, tangan kiri di pinggang. Sementara kakinya membentuk huruf O. mulutnya lebih dimanyunin lagi. Lalu dia berjalan bolak-balik. Kadang melompat-lompat kecil atau berlari kecil. Lalu dia berhenti di depanku. Tepat disana dia masih menari-nari seperti seekor kera. Ah.. sejelek apapun mukanya, dia tetap cantik dihatiku.

Melcot (melodi cocot) aku hentikan. Aku menjulurkan tanganku, dia berhenti dari tingkah keranya. Dia berdiri anggun sekarang. Dengan perlahan dia meraih tangaku. Aku tarik dia merapat ketubuhku. Kami berdansa kecil. Mata kami tak pernah lepas saling menatap. Saat itu, ada satu lagu dari Opie Andaresta yang terus terngiang dikepalaku. Tanpa sadar aku nyanyikan lagu itu dengan tempo lambat seiring dengan gerakan dansa kami.

“dokter pratiwi mengangkasa, tlah terpilih NASA. Suatu saat nanti terbang tinggalkan dunia.” Dia tampak tersenyum geli. Aku cuek saja “Susi susanti sumbangkan emas pertama. Di olimpiade dunia untuk Indonesia. Hey.. habislah gelap dan terbitlah terang. Habislah gelap” dia tiba-tiba saja mendorongku. Lalu tertawa sejadi-jadinya. Aku juga ikut terawa. Lalu kami duduk selonjor. Dia masih tertawa.

“kok gitu lagunya? G’ romantis kali pun.” Dia berkata diantara tawanya. Aku, selalu terpesona melihatnya. Aih.. mantap kali wanita satu ini.

“kau tahu g’? kartini akan sangat iri sekaligus bangga melihat wanita yang sebebas dirimu. Kau tahu apa yang paling special darimu? Kau cantik. Kau cantik karena kau adalah kau. Bukan bedah plastik, bukan kosmetik, bukan malu-malu, tidak manja-manja.” Kataku. Dia tersenyum kecil.

“kartini juga pasti marah sama aku” dia berkata dengan entengnya.

“ha..kok bisa?” aku agak kaget.

“soalnya lelaki impiannya aku rebut. haha..” tawanya renyah

“hmm.. tapi aku tetep milih kamu kok” aku sedikit merayu.

“ya..iya lah.. kalok kartini masih hidup sekarang, dia sudah jadi buyut..haha”

Sekali lagi aku kalah. “hah.. ngacok kamu” kehabisan akal membalas serangannya.

“kamu sih, sukanya ngayal” lalu dia berdiri mengambil dua Sleping Bag yang masih terlipat rapi diatas karang itu.

Dia kembali dan melemparkan satu untuku. Dia membuka Sleping Bag sendiri. Menggelarnya sendiri. Lalu berusaha menutup resletingnya sendiri. Dia kesulitan menutup ¼ resletingnya. Dia berguling-guling seperti kepompong. Aku tertawa kecil. Dia kesal melihatku.

“tolong” ungkapnya kesal, manja, sedikit mengadu.

Aku menolongnya. Saat itu hanya tinggal wajahnya saja yang kelihatan. Lainya, terbungkus seperti kepompong. Astaga, kenapa cantiknya g’ habis-habis. Aku pandang dia lekat. Kukecup jari tengah dan telunjukku sendiri. Lalu kutempelkan kedua jari itu kemulutnya.

“good night” kataku lembut. Dia tersenyum mellow.
Aku pun tersenyum. Tetapi entah kenapa tiba-tiba aku mencium bau rokok. Aarrrggghhttt…!!! Ternyata ada seorang duduk disampingku. Tak banyak basa-basi dia mengebulkan asapnya.