Sabtu, 22 Maret 2008

KARISTA

Serasa terbanyang kembali ingatan saat dia pertama bertemu dengan pemuda itu, di hari sabtu sore, di sebuah pemakaman, terduduk dia simpuh di samping sebuah makam baru yang masih dihiasi taburan kembang melati dan mawar di atasnya, memadukan komposisi warna merah dan putih dengan sangat anggun. Erlina Mahardika bin Heru Mahardika, lahir 13 Oktober 1987, Wafat 23 Februari 2008. seperti itulah yang terukir di nisan kayu. Wajah yang memucat, mata merah dengan sorot mata sayu berkaca-kaca tapi tak sebutir air mata yang turun dari singgasana kelopaknya. “lihat aku lin, aku sudah menepati janji kita, tidak akan menangis disaat salah satu dari kita terluka dan akan tetap tertawa bersama. Tapi… kau berbohong padaku.. !!! dasar pembohong !!!” dengan muka yang agak culasnya dia berkata, tetapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan hatinya yang penuh luka. Lagit yang tadinya kelam kini sudah takkuasa menahan bebannya, lepaslah air itu membasahi bumi, suara burung gereja yang tadi berkerenyit dan berebut makanan diatas tempat sajen yang terdapat dibeberapa kuburan hilang sudah, bau kemenyan, aroma kembang tujuh rupa pun semakin samar ditelan oleh bau khas tanah yang tersiram air hujan.

Tubuh karista pun tak luput dari guyuran itu, sekarang sudah bagai patung dia disamping kuburan sahabatnya. Entah apa yang ada didalam pikiran seseorang yang ditinggal sahabatnya. Tiba-tiba tetesan hujan tak menyentuh dia lagi. Sesosok laki-laki asing membawa payung hitam berdiri dibelakangnya. “bangun ris.. lihatlah bunga mawar melati itu. Indah memang, tapi dia sudah mulai kriput melayu, indah dan baunya pun kelak akan hilang dan membusuk. Di dunia ini memang tak ada yang kekal”.